“Kemana lagi,
Yo? Nanti kita dimarahin nenek loh,” aku mengingatkan Rio.
“Puncak gunung,
seperti janjiku padamu.”
---
Aku tidak pernah bisa merasa nyaman pada lelaki manapun kecuali Rio Mahesa. Dia adalah sosok pria idamanku sejak aku masih kecil. Sepupu sekaligus sahabat dan kakak buatku. Sungguh aku memujanya sejak usiaku masih sangat belia. Aku dan dia terpisah oleh jarak. Dia berada di Bandung sedangkan aku di Bekasi.
Siang itu handphone-ku berdering. Aku cukup kaget membaca sebuah nama yang tertera di layar ponsel. Aku bergegas mengangkat telepon.
“Hei, Yo, kenapa nelpon? Ada yang penting?
“Enggak ada kok. Aku cuma kangen aja sama kamu. Gapapa kan?” nada bicaranya nyaris membuatku melayang. Apakah aku tidak salah dengar? Dia merindukanku? Ah, tentu saja wajar terlebih dia itu kan sepupuku sendiri.
Aku tidak pernah bisa merasa nyaman pada lelaki manapun kecuali Rio Mahesa. Dia adalah sosok pria idamanku sejak aku masih kecil. Sepupu sekaligus sahabat dan kakak buatku. Sungguh aku memujanya sejak usiaku masih sangat belia. Aku dan dia terpisah oleh jarak. Dia berada di Bandung sedangkan aku di Bekasi.
Siang itu handphone-ku berdering. Aku cukup kaget membaca sebuah nama yang tertera di layar ponsel. Aku bergegas mengangkat telepon.
“Hei, Yo, kenapa nelpon? Ada yang penting?
“Enggak ada kok. Aku cuma kangen aja sama kamu. Gapapa kan?” nada bicaranya nyaris membuatku melayang. Apakah aku tidak salah dengar? Dia merindukanku? Ah, tentu saja wajar terlebih dia itu kan sepupuku sendiri.
“Neng, kok diem sih?”
“Eh iya maaf, Yo, tadi aku ngelamun hehe.”
“Ah pasti kamu lagi ngebayangin wajahku
yang ganteng ini kan?” godanya. Tawanya begitu renyah.
“Ish, meuni
kageeran kamu mah,” jawabku sedikit cemberut.
“Aku bercanda. Liburan besok ke puncak
gunung yuk? Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu.”
“Sesuatu apa, Yo?”
“Rahasia. Makanya kamu ke Bandung dulu
baru nanti aku tunjukin.”
“Oke emang-emangan nu arek jadi pulisi,” godaku. Aku tertawa begitu keras, puas meledeki sepupuku itu.
“Oke emang-emangan nu arek jadi pulisi,” godaku. Aku tertawa begitu keras, puas meledeki sepupuku itu.
“Tos
ah, tong dibahas atuh lah. Isin,
Farah.” Kali ini dia yang cemberut. Aku terus tertawa. Tiba-tiba sambungan
telepon terputus.
Aku merasa salah tingkah. Apakah ia marah
hanya karena aku meledeki cita-citanya? Aku merasa bersalah. Tak lama kemudian
pesan singkat muncul dilayar handphone-ku.
Aku segera membacanya.
“Maaf ya, Neng, pulsaku abis jadi
tiba-tiba teleponnya mati deh. Oh iya, aku selalu nunggu kedatengan kamu loh. Miss you, cantik :)”
Ternyata dari Rio. Perasaanku lega sekarang.
Ternyata dari Rio. Perasaanku lega sekarang.
***
Seminggu kemudian aku menepati janjiku
pada Rio. Aku berangkat ke Bandung untuk liburan sekaligus menjenguk nenekku.
Aku sampai di Terminal. Aku begitu rindu
pada udara disekitar Bandung. Semuanya terasa menyejukkan hati. Aku buru-buru
mengambil handphone-ku, menekan
tombol panggil.
“Hallo, Yo, aku udah sampe di Leuwi
Panjang nih. Kamu dimana?”
“Tunggu ya, Far. Sebentar lagi aku sampe
kok,” katanya dengan santai.
“Jangan lama-lama, aku takut, Yo.”
“Gak usah takut aku di belakangmu
sekarang,”ucapnya sambil setengah tertawa,
Aku memalingkan wajah ke belakang. Sosok
pria tinggi semampai sudah berdiri di sana dengan tegap. Membuka kedua
tangannya, siap menerima pelukan.
“Rio,” ucapku dalam hati. Aku berjalan
setengah berlari menuju kearahnya dan memeluknya dengan erat. “Aku kangen
banget sama kamu, Yo.”
“Aku apalagi, Farah. Kangen, kangen banget
sama kamu. Udah dua tahun kita gak pernah ketemu.”
Aku melihatnya tersenyum, aku masih
didalam pelukannya menahan haru.
“Yuk kita pulang ke rumah. Nenek pasti
udah nunggu kita dari tadi.”
Motor Honda CBR 150CC menanti kita dalam kebisuan, aku duduk persis di belakang Rio. Memeluknya dengan erat.
Motor Honda CBR 150CC menanti kita dalam kebisuan, aku duduk persis di belakang Rio. Memeluknya dengan erat.
“Udah siap?” tanyanya memastikan.
“Udah kok. Ayo tancap gas!” kataku
setengah berteriak.
Motornya melaju sangat kencang. Dengan
kecepatan yang tak kuketahui hingga mencapai angka berapa. Dari balik
punggungnya ia berkata sesuatu. “Pegangan yang erat, Far.”
Aku tersenyum. Pipiku merona.
***
Ketika di depan gerbang, nenek sudah
menyambutku dengan wajah yang berseri-seri. aku menghampirinya, nenek
menyambutku dengan begitu hangat.
“Aya, kamu dateng juga. Nenek kangen
banget sama cucu nenek yang cantik ini,” kata nenek. Suaranya terdengar serak,
mungkin ia menahan sakit dan haru.
“Ah, nenek mah bisa aja. Aku juga kangen
nenek,” kataku sambil memeluk nenek.
“Ayo
masuk udah sore. Kamu istirahat di kamar ya sayang.”
“Iya, nek.”
“Yo, kamu anterin Aya ke kamar sana.
Beresin kamarnya ya,” suruh nenek pada Rio.
“Siap nek,” jawab Rio seperti anak buah
yang hormat pada perintah kaptennya.
Aku menaiki anak tangga. Tangga yang
berdenyit ini memang benar-benar kurindukan. Rio berada di belakangku
membawakan barang-barang yang kubawa dari Bekasi. Aku membuka kamar yang
dipersiapkan nenek untukku, kamar kesukaanku. Dinding-dindingnya masih kuat dan
warnanya masih sama, warna ungu. Aku tersenyum.
“Ini barang-barangnya nona Aya,” ujar Rio.
Nada bicaranya seperti meledek.
“Tong
ngaledek kitu atuh lah,” kataku bete.
Rio menahan tawa. “Mukamu lucu banget,
Far. Iya, iya, aku minta maaf nona Farah Maria.”
Aku tersenyum simpul. Kemudian Rio
membalikkan badannya untuk pergi ke kamar sebelah, kamarnya sendiri. “Rio,”
panggilku dan langkah Rio terhenti.
“Iya, kenapa, Far? Ada barang yang
ketinggalan?”
“Enggak ada kok. Makasih ya udah mau
bawain barang-barangku.” Ucapku dengan senyuman yang paling manis.
“Oke,” katanya mengacungkan jempol.
“Istirahat sana. Besok aku akan mengajakmu ke puncak gunung yang sudah
kujanjikan,” Rio terseyum, begitupun denganku.
***
“Arrhh….”
Aku
terbangun. Ada seseorang yang membukakan jendela untukku. Pandanganku masih
mengabur dan cahayanya begitu terang sehingga tidak terlalu jelas siapa si
pemilik tubuh itu sampai aku benar-benar membuka mata. Orang yang membuka
pagiku tak lain adalah Rio.
“Pagi cantik, bangun dong udah siang nih.
Mandi sana kita pergi yuk.”
“Kemana, Yo?”
“Nanti kamu juga tau kok, Far. Cepet sana
mandi, kalo kamu gak mau mandi nanti aku yang mandiin nih ya.”
“Hayang,”
kataku sambil menjulurkan lidah.
Aku bergegas ke kamar mandi. Rio menunggu
dalam kamarnya. Selesai mandi aku memilih baju yang akan kupakai, celana jeans dengan blouse pink tampak casual ditubuhku. Hampir satu jam aku berkutik
dengan diriku sendiri, mempercantik diri.
“Ayo, Yo, kita berangkat.”
“Aduh dasar cewek lama banget, aku udah
lumutan nih.”
“Iya maaf, Yo.”
“Nih pake helmnya, aku gak mau kamu
kenapa-kenapa.”
Aku pergi bersama Rio dengan motor
kesayangannya. Mengelilingi kota Bandung, mulai dari lapangan Gasibu, Dago,
jalan Asia Afrika, dan tempat yang tak bisa kusebut satu per satu. Waktu kini
telah menunjukan pukul 4 sore. rasanya sudah terlalu sore.
“Kita abis ini pulang kan, Yo?” tanyaku
padanya.
“Udah sore sih emang, tapi aku mau ngajak
kamu ke satu tempat lagi.”
“Kemana lagi, Yo? Nanti kita dimarahin
nenek loh,” aku mengingatkan Rio.
“Puncak gunung, seperti janjiku padamu.”
“Tapi, Yo….” Aku belum menyelesaikan
perkataanku, Rio sudah menancap gas dengan kencang. Aku menuruti saja
keinginannya.
Jalanan menuju puncak gunung terasa
menyeramkan. Daerah tersebut memang sangat curam dan berkelok-kelok. Menanjak
terus hingga puncak gunung. Aku terus melingkarkan tanganku pada tubuh Rio
sekuat-kuatnya, aku phobia pada
ketinggian. Daerah Caringin Tilu memang sedikit pengunjungnya, masih sepi. Tapi
udara disini masih sejuk mungkin bisa dibilang dingin walaupun waktu sudah
sangat sore. Lebih parahnya aku lupa membawa sweater.
Aku dan Rio sudah sampai dipuncak Caringin
Tilu. Kita berdua memilih kedai bilik dan duduk di meja lesehan dekat dengan
pemandangan kota Bandung. Dari tempat aku duduk aku bisa menikmati keindahan
kota Bandung sesuka yang aku mau.
“Teteh, Aa, mau pesen apa?” kata si
pemilik kedai.
“Susu
nu anget nya, Bu, pesen dua sareng
surabina oge sami dua porsi.”
“Muhun,
mangga diantosan heula,” kata si pemilik kedai dengan ramah.
Aku masih memandangi hamparan dataran kota
Bandung. Menghirup udara sekuat-kuatnya kemudian
memejamkan mata. Disisi lain, seseorang melingkarkan sesuatu dileherku, seperti
sebuah kalung. Aku meraba tangannya, lagi-lagi Rio. Ia memakaikanku kalung
dengan liontin huruf FM, layaknya inisial.
Aku baru mau mengucapkan sesuatu,
tiba-tiba si pemilik kedai datang.
“Punten,
ieu susu sareng surabina.”
“Nuhun,
Bu,” jawabku.
Aku memandangi Rio. Tatapanku dibalas
hangat oleh Rio. Diatas langit sana senja sudah mulai menampakkan dirinya. Hingga
petang benar-benar tak sabar ingin muncul. Senja yang sangat sempurna, senja
jingga keemasan.
Aku menatap Rio lagi, tangan Rio
mengepalkan tanganku. Aku membisu di tempat, Rio lagi-lagi melelehkan perasaanku.
Tanganku digenggam dengan sangat lembut.
“Farah, liontin ini adalah inisial namaku
dan namamu, Farah Mahesa.”
“Sungguh? Kufikir itu inisial namaku,
Farah Maria,” kataku heran.
“Itu inisial nama kita berdua. Aku sayang kamu,
Farah.”
DEG. Kali ini aku benar-benar kaget,
jantungku serasa mau copot. Aliran darah dalam tubuhku pun rasanya mulai berjalan
tak teratur. Apa aku tuli?
“Far,
aku tau perasaan ini salah tapi aku benar-benar menyayangimu. Kumohon maafkan
perasaanku dan juga kejujuranku. Aku tak kuasa menahan sayang ini seorang diri.”
Aku mencoba merangkai kata-kata. “Aku
bukannya marah padamu. Aku hanya tidak percaya pada pembicaraanmu.”
“Perasaan ini datang secara tiba-tiba, tanpa kenal waktu juga tanpa kenal
siapa sasarannya.”
“Aku….” Aku menarik nafas, mencoba
mengumpulkan energi. “Jujur, aku juga sayang sama kamu, Yo,” kataku lemah.
Rio hanya tersenyum. Selang beberapa detik
Rio mencium keningku dengan lembut, kemudian aku dan dia menyatukan perasaan
dalam pelukan.
“Senja jingga keemasan ini kupersembahkan
untukmu, Cantik,” bisik Rio di
telingaku.
0 komentar:
Posting Komentar