Ada yang ingin
kuceritakan pada senja, namun aku terlambat untuk datang dan senja terlalu
cepat berpulang. Aku hanya tidak tahu kepada siapa aku harus mengadu. Semua
yang kurasakan terasa sesak didalam dada. Tak ada satu orangpun yang mampu
untuk mengerti.
Apa yang
sebanarnya tengah kita jalani? Sebuah hubungan? Jika memang iya, maka
seharusnya ada dua orang yang saling mencintai, saling menyayangi, saling
mengerti dan saling memaklumi. Mengapa dunia yang kita buat hanya sebatas amarah
dan keegoisan? Padahal pondasi yang kita buat berawal dari kenyamanan.
Kemana kita yang
dulu? Yang hanya mengenal kekitaan bukan keakuan atau kekamuan. Mengapa kita
malah lebih sering bersitegang dan saling tarik urat? Seolah kita berlomba
untuk menyuarakan teriakan yang paling kencang. Kemana kamu yang bisa meredam
amarahku? Kemana aku yang dulu selalu merasa luluh padamu?
Hingga akhirnya
kita benar-benar berada di puncak, yang kita beri nama titik kejenuhan.
Harusnya kita bisa saling intropeksi diri, bahwa apa yang sedang coba kita
bangun bukanlah sebuah permainan diatas panggung. Kau yang dulu bilang, setiap
masalah itu menguatkan kita. Dan hal itu yang membuat hubungan kita semakin
erat. Tapi mengapa justru nyatanya kisah kita malah dipenuhi amarah yang
mengurat? Mengapa genggamanmu semakin melonggar kemudian terlepas.
Kemana kamu yang
berjanji untuk tetap menggenggam erat tanganku apapun itu keadaannya? Kemana
kamu yang berjanji bertanggung jawab atas segala perasaanku yang sedang kutaruh
pada dirimu? Kemana janjimu yang akan berusaha menjagaku?
Kamu yang bilang
tak akan melepaskan aku walau aku merasa ingin jauh. Tapi nyatanya sekarang
omonganmu seperti butiran debu yang berkelebatan didepan wajahku kemudian
hilang tersapu angin. Kau melepaskanku. Kau menghancurkanku.
Aku memang
sempat kecewa padamu, tapi aku selalu berusaha membuka pintu maaf untukmu. Aku
mencoba memahami keinginanmu. Aku menahan tangisku ketika kau kasar padaku. Tak
bisakah sekali saja kau menghargai itu? Aku tak penah ternilai di matamu. Aku
tahu aku egois, tapi tolonglah untuk sabar menghadapiku.
Tak sadarkah
kamu bahwa ketika detik-detik terakhir hubungan kita omonganku penuh dengan
kemunafikan? Tak bisakah kau merasakan itu? Sebenarnya siapa yang menjadikan
hubungan ini pelampiasan? Kau bilang bahwa kamu tak ingin mengecewakanku lagi.
Kamu ingin berhenti menyakitiku. Tapi
menurutku, berpisah bukan satu-satunya cara untuk berhenti menyakiti.
Perpisahan?
Bagaimanapun bentuknya tetap saja menyakitkan. Aku hanya mampu tersenyum. Ini
pilihanmu dan ini keinginanmu. Ini yang terbaik untuk kita. Dan kini baru aku
sadari, bahwa kamu tak benar-benar bersungguh mencintaiku. Semua yang kau
rasakan padaku hanya hasratmu semata. Kini aku sadar, aku hanyalah tempat
persinggahanmu. Aku bukan tempat tujuanmu.
Aku tidak
apa-apa. Aku tidak sedih. Air mata yang mengalir bukanlah apa-apa. Mata
sembabku tak berarti apa-apa. Kembalilah pada perempuan tujuanmu yang jelas
tidak ada pada diriku. Semoga kamu bahagia menjalani kehidupanmu kini.
Terimakasih
untuk waktu singkat yang sangat indah bersamamu. Meski tak akan terulang lagi.
meski tak bersamamu lagi, aku akan menunjukkan padamu bahwa aku mampu bahagia
dan berdiri sendiri dengan kedua kakiku.
Aku tidak sedih,
sungguh…
0 komentar:
Posting Komentar