Saat
itu aku tengah memandangi jendela kamar. Langkah kakiku berpijak disana.
Memangku kedua tanganku dibahu jendela. Langit diluar sana mendung. Tiba-tiba
suara handphone-ku berdering, tanda
sms masuk.
————
From :
082xxxxxxxxx
To :
Me
Hai, sombong nih. Masih inget aku?
————
From :
Me
To :
082xxxxxxxxx
Sorry,
who’re you? Aku gak kenal kamu.
————
From :
082xxxxxxxxx
To :
Me
Yakin? Inget miniatur kristal biru?
————
From :
Me
To :
082xxxxxxxxx
Ya Tuhan, Gema?
————
From :
082xxxxxxxxx
To :
Me
Yap. Apa kabar? Lama gak ketemu kamu.
Lama gak komunikasi sama kamu.
————
From :
Me
To :
082xxxxxxxxx
Aku baik, kamu gimana? Iya udah 4 tahun
lalu.. ada apa? Tumben sms.
————
From :
082xxxxxxxxx
To :
Me
As
usually, selalu baik kok. Hm aku mau ketemu kamu besok boleh?
————
From :
Me
To :
082xxxxxxxxx
For
what?
————
From :
082xxxxxxxxx
To :
Me
Rahasia :p dateng ya ke taman jam 10.
Aku tunggu :) see you..
————
Malam itu aku disibukkan oleh dua hal,
tugas dan kamu. Entah naskah drama konyol apa yang sedang kumainkan. Tapi, aku
sadar bahwa ini nyata dan aku tidak sedang berada dalam opera. Hanya saja,
malam ini pikiranku tidak fokus. Aku membanting kasar tugas yang menumpuk
diatas meja belajar. Aku berjalan menuju teras atas. Aku memandangi langit,
tiba-tiba suaramu sayup-sayup menggema ditelingaku.
--
‘Kalo kangen aku lihat bintang aja,
aku akan selalu jadi bintang kok buat kamu’
Aku
tersentak. Memoriku terputar kembali. Aku seperti terlempar pada masa 4 tahun
silam, ketika aku masih bersamamu. Aku ingat, saat aku selalu melewati malam di
teras atas dan kamu menemaniku disebrang telepon sana. Kita mengurai tawa,
menjabarkan cerita dan melewati malam yang sangat panjang. Kau biasa memainkan
piano tengah malam. Mengalunkan melodi begitu indah. Pada saat yang bersamaan
aku hanya merona, mengagumimu tanpa pernah mengatakannya padamu.
Hingga
saat itu tiba…
.
.
Kau
berbicara disebrang telepon, suaramu begitu cemas ketika kau mendapati suaraku
tengah terisak. Nada bicaramu yang terdengar kacau.
“Kamu
kenapa, sayang?” tanyamu cemas diujung sebrang sana.
Aku
hanya mampu terdiam. Kau tak henti bertanya.
“Dhea,
kamu kenapa? Kenapa kamu nangis? Ada apa sama kamu?” kini lebih banyak
pertanyaan yang kau ajukan. Dan aku hanya mampu terisak dan tercekat.
Hening.
Tak ada satupun yang berbicara. Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan isakan
tangis. Rasanya sulit. Rasanya berat untuk mengatakan satu atau dua kata. Aku
menghabiskan sisa air mataku seiring kekhawatirannya.
“Aku
minta putus!” kataku dengan cepat dan tercekat.
“Ta,
tapi kenapa, Dhe?” tanyamu tak percaya. Suaramu kaget setengah mati.
Aku
menghela nafas panjang. “Aku gak bisa sama kamu lagi. Aku mau kita putus!” nada
bicaraku meninggi, kemudian kuputuskan sambungan telepon. Aku menon-aktifkan
handphone-ku.
Aku
masuk kedalam kamar. Membanting tubuhku diatas kasur. Bulir demi bulir air
mataku terjatuh kala aku tak kuasa menahan nyeri. Rasanya tak percaya bahwa aku
mampu untuk berpisah denganmu. Hubungan kita baru saja seumur jagung, 2 bulan.
Waktu yang sangat singkat untuk diakhiri dengan kata ‘pisah’. Namun apa daya,
aku tak mempunyai pilihan. Aku tersudut disuatu ruang, hati kecilku. “Apa yang
barusan aku lakukan?” tanyaku dalam hati.
.
.
Aku hanya tidak memiliki pilihan. Ketika
salah satu sahabatku memiliki problem,
dan itu menyangkut tentang dirimu. Aku hanya tidak memiliki kekuatan. Ketika
aku terpaksa memilih diantara dua pilihan.
Aku
tak bisa memilih salah satu diantara kalian, karena aku merasa kalian sangat
berarti. Keadaanku saat itu dalam segala keterbatasan. Aku tak memiliki kuasa.
Aku, perempuan kecil yang menjunjung tinggi persahabatan. Aku menyayangimu.
Hanya saja, aku tidak memiliki daya untuk mempertahankanmu. Hingga akhirnya aku
memilih sahabatku dibandingkan kamu.
Lucu
memang, ketika aku harus mempertaruhkan hubungan kita hanya demi seorang
sahabat. Namun ini nyata, dan jelas itu yang aku pilih. Dengan seluruh upayaku,
aku memilih sahabatku. Bukan, bukan karena aku tidak menyayangimu. Aku hanya
tidak bisa bermusuhan dengan sahabatku. Hingga sampai dimana aku dan kamu
berpisah.
Kau
membenciku, itu sangat jelas tergurat diraut wajahmu. Tapi inilah jalan yang
aku pilih, kasih…
.
.
Kulewati
malam yang dingin tanpa pernah kudengar suaramu lagi. Rintik hujan membahasi
atap rumahku. Tak ada bintang, langit berkabut. Hujan membahasi tubuhku. Air
yang turun dari langit itu semakin deras diiringi cahaya putih yang menyambar
bumi. “Gema, aku takut petir,” lirihku sambil memalingkan wajah. Lagi, aku
terisak disana.
Tahun
pertama tanpamu kulewati dengan sangat berat. Banyak masalah yang kulalui
seorang diri, tanpamu. Tidak ada lagi bunyi handphone
yang selalu menggangguku setiap malam. Tidak ada lagi tawamu yang memenuhi
ruang ditelingaku. Tidak ada lagi alunan melodi yang selalu kau bawa. Dan tidak
ada lagi cerita diantara kita.
.
.
Suatu
ketika, Tuhan memang punya kuasa untuk kita. Aku dan kamu diizinkan untuk
bertemu disuatu ruang dalam segala keterbatasan waktu. Aku menggenggam bola
kristal biru, miniatur kesukaanku dari kecil. Kau berjalan dari arah lain
menggenggam benda kecoklatan, boneka kecil nan lucu.
Aku
menatap matamu nanar. Menahan rindu yang tak kuasa kubendung. Aku rindu padamu,
Gema. Sangat rindu. Apakah kau bisa menemukannya dimataku?
“Aku
mau ngasih bola kristal ini sama kamu,” ucapku. Aku meraih tangan kanan Gema dan
memberikan bola kristal biru kesukaanku. Rasanya berat memberikannya.
Kau
hanya terdiam, tanpa sedikitpun berkata. Kau mengayunkan tangan kananmu yang
berisi bola kristalku. Kemudian kau tersenyum kecut.
“Ini,”
katamu acuh mengulurkan tangan yang dipenuhi oleh boneka kecil nan lucu itu.
Aku
mengambilnya ragu.
“Jagain
Dido ya, dia boneka aku dari kecil,” lanjutmu. Kau mengalihkan pandangan
kemudian berjalan pergi menjauh tanpa menjelaskan apapun.
Aku
menangis tersendu. Memandangi punggungmu yang menapaki jalan, menjauh dari
tempat aku berdiam diri. Tubuhku rasanya lemas. Aku menghapus air mata dengan
kasar, lalu berlari sekuat yang kubisa tanpa menoleh lagi.
***
Masa
lalu itu begitu lama berputar didalam memoriku. Hingga tanpa sadar air mataku
mulai berjatuhan.
“Kak
Dhea,” panggil seseorang dari arah belakang punggungku. Suara adikku.
Aku
buru-buru menghapus air mata dan menoleh ke sumber suara.“Ah, iya kenapa, De?”
tanyaku.
“Itu
dipanggil Mama suruh makan dulu udah siap,” jelasnya.
“Iya,
nanti aja aku nyusul. Kamu duluan aja,” kataku pada adikku.
“Yaudah
nanti makan ya, Kak,” katanya lagi lalu berlalu pergi meninggalkanku sendirian.
Aku
membenah diri. Menata perasaanku yang terlalu melankolis mengenang masa lalu.
Lalu bergegas untuk makan bersama keluargaku.
.
.
Aku
menunggu di taman sesuai dengan permintaanmu. Banyak orang yang berlalu lalang
hanya sekedar untuk bermain diwaktu weekend
seperti saat ini. Aku seperti wanita asing yang menunggu dalam
ketidakpastian. Setengah jam berlalu, aku masih setia menunggu. Aku berharap
cemas. Kumembuka tas yang sedari
tadi dipangkuan, lalu kuambil boneka pemberiannya 4 tahun lalu. Aku meremasnya.
Waktu
terus saja berjalan, tapi aku tak sekalipun bergerak. Satu jam berlalu dan kamu
belum datang juga. Aku mulai putus asa. Mungkin aku sedang dipermainkan oleh
waktu. Mungkin aku sedang dipermainkan oleh keadaan. Dan lebih parahnya,
mungkin saja aku sedang dipermainkan olehmu. Betapa aku menunggumu dengan
sangat sabar di taman. Aku mengambil handphone
dari saku celana. Tapi tak ada kabar darimu. Aku mencoba menghubungimu, dan
saat itu nomormu tidak aktif. Aku mengeratkan genggaman, mencoba menahan tangis
karena merasa dipermainkan olehmu.
Aku
terkulai lemah dan pasrah. Aku putus asa. Aku mencoba beranjak hingga
tiba-tiba dari arah belakang seseorang menahanku.
“Dhe,”
panggilnya seraya menahan tanganku.
Aku
menoleh pada si empunya genggaman tangan itu. Mataku jatuh pada tatapannya yang
teduh. “Gema,” bisikku dalam hati.
“Kamu
udah lama nunggu ya?” tanyanya kemudian melepas genggamannya.
“Iya
udah sejam,” kataku jutek.
“Maaf
tadi aku ada urusan sebentar,” katanya menyesal.
“Gak
bisa. Emangnya kamu pikir waktuku cuma buat kamu doang apa? Bete tau nungguin
kamu!” kataku ketus.
“Terus
aku harus apa?” tanyanya. Raut mukanya tampak muram.
Aku
memandangi setiap detail yang ada pada dirinya. Tidak ada yang berubah
sedikitpun. Tatapan matanya, suaranya, kebaikan hatinya, semuanya masih sama
seperti dulu. Hanya saja kini postur tubuh Gema lebih tinggi dan berisi
dibanding dulu.
Gema
masih terdiam. Aku melirik jahil, aku tersenyum. Kurasa memang Gema terlihat
menyesal.
“Yakin
nyesel gak nih?” tanyaku acuh sambil menahan senyum.
“Iya,
please jangan ngambek dong.”
“Buat
aku gak marah dong makanya,” pancingku padanya.
Kulihat
ia tersenyum padaku. lalu ia mulai menutup kedua mataku dengan tangan kirinya.
“Hei,
kamu mau apa?” tanyaku kaget.
“Udah
diem aja, tutup mata kamu sebentar. Aku mau ambil sesuatu nih di tas,”
jawabnya.
Tak
lama kemudian, ketika ia melepaskan tangannya dari mataku. Kulihat 2 buah ice cream rasa strawberry. Aku melirik
kearahnya sedikit sinis. Ia sepertinya menangkap maksudku.
“Hehe
maaf maaf aku telat abisnya tadi nyari ice
cream strawberry buat kamu. Kamu masih suka ice cream rasa strawberry kan?”
Aku
tersenyum dan mengangguk. Gema membalas senyumku lalu menyodorkan ice cream padaku. Aku mengambilnya. Dia
mengajakku untuk duduk dibangku taman sambil menikmati ice cream pemberian Gema.
Tak
terasa waktu terus berjalan. 4 tahun sudah aku berpisah dengan Gema. Namun saat
ini, aku merasa tak ada yang berubah dari Gema. Mungkin saja luka itu masih
membekas dihatinya. Hanya saja, ia menyembunyikannya.
Aku
melahap habis ice cream
strawberry-ku. Lalu mengganggunya yang masih melahap ice cream dengan berantakan
disetiap sudut bibirnya. Lalu aku mengambil tissue
didalam tas, memberikannya pada Gema.
“Nih,
elap dulu tuh mulut kamu belepotan sama ice
cream. Kaya anak kecil, makan ice
cream doang berantakan,” kataku
sambil tertawa kecil.
Gema
ikut tertawa. Lalu dia tak langsung mengambil tissue yang kujulurkan kearahnya. Ia malah meraih tanganku untuk
mengelap disekitar mulutnya. Jantungku berdegup kencang. Tanganku serasa mati
rasa. Genggaman tangan Gema kini begitu sangat erat. Aku hanya menatapnya
kikuk.
Gema
terlihat enggan melepas tanganku. Kini genggamannya malah semakin erat. Aku
semakin dibuat linglung.
“Gema..
sa..sakit,” kataku merintih.
Ia
sedikit melonggarkan genggaman tangannya tapi tak berniat untuk melepaskan genggamannya.
“Ada
apa Gema?” tanyaku heran.
“Ada
apa? Kamu bilang ada apa?” ulangnya berkali-kali.
Aku
terdiam. Tatapan mata Gema berubah, jauh lebih serius dan terlihat angkuh.
“Kenapa,
Dhe? Kenapa dulu kamu ninggalin aku? Aku salah apa?” tanya Gema bertubi-tubi.
Kemudian menghela nafas panjang. “Kamu kenapa pergi?” tanyanya lagi.
“Aku..aku..”
“Maafin
aku. Aku gak bermaksud apa-apa,” kata Gema memotong kegerogianku. Lalu melepas
tanganku. Ia memalingkan wajah.
“Gema,”
panggilku. Namun tak ada sahutan darinya. Aku menyentuh pipinya. Ia menoleh
kearahku. “Gema, aku minta maaf kalau aku dulu ninggalin kamu. Aku ninggalin
kamu karena suatu sebab. Bukan karena aku gak sayang sama kamu, aku cuma…”
Gema
mengunci bibirku dengan telunjuknya. Sudut mataku meneteskan air mata. Lalu
Gema dengan cepat menghapusnya.
“Aku
percaya kamu masih mencintaiku seperti dulu, Dhe. Matamu menjelaskan semuanya.
Kamu gak perlu repot-repot untuk menjelaskan apapun. Karena aku cuma butuh
melihat sisi matamu yang indah itu, matamu yang tak pernah bisa berbohong
padaku.”
“Gema,”
kataku lirih.
“Aku
kangen banget sama kamu, Dhe. Seneng deh bisa ketemu lagi sama kamu disini.
Ngeliat kamu sekarang ada didepan mata aku aja, aku seneng banget,” katanya.
Aku
tersenyum menahan haru dan tangis.
“Dhe,
aku sayang kamu,” bisik Gema ditelingaku.
Aku
tak mampu berkata-kata. Rasanya semua impuls dalam otakku berhenti bekerja.
“Hari
ini aku sengaja ngajak kamu ketemu. Karena aku mau berdua sama kamu seharian
ini. Aku kangen banget sama kamu. Mungkin ini akan jadi yang terakhir.”
“Maksudmu?”
tanyaku.
Gema
tersenyum. “Mulai minggu depan aku harus nuntut ilmu selama 3 tahun. Jauh dari
orang tua, jauh dari keluarga dan pastinya jauh dari kamu, Dhe.”
“Kemana,
Gema?” aku masih saja bertanya.
“Aku
sekolah kedinasan, Dhea. Makanya aku bilang ini hari terakhir, karena aku sadar
waktuku pasti sangat terbatas.”
Aku
senang. Sangat senang malah. Tapi aku juga merasa resah. Baru saja saat ini aku
bertemu lagi dengan Gema. Namun ia memberikan kabar yang menggangguku, sekolah
kedinasan 3 tahun. Itu artinya aku mempunyai waktu yang sangat sedikit
dengannya.
“Dhea,”
panggil Gema membuyarkan anganku.
“Hmm,”
“Jangan
cemberut gitu dong. Aku cuma sekolah 3 tahun dan bukan berarti kita gak bisa
ketemu lagi. Bisa, tapi mungkin sangat jarang. Dhea, kamu sayang sama aku?”
tanyanya sedikit ragu.
Aku
menganggung lemah. Gema tersenyum.
“Tunggu
aku ya, Dhe, 3 tahun lagi aku akan kembali ke kamu seutuhnya. Kamu juga harus
serius menata masa depan kamu. Aku akan berusaha untuk meluangkan sedikit
waktuku untuk ketemu kamu, pasti. Kamu mau
kan nunggu aku?”
Aku
gamang. Tapi aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama. “Iya, aku mau kok,
Gema. Aku akan nunggu kamu,” jawabku diiringi senyuman yang paling manis.
“Makasih,
Dhe. Aku cinta kamu.”
Lalu
Gema mengecup keningku dengan lembut. Hari ini adalah awal dari kisahku dengan
Gema. Yang telah lalu adalah kesalahan yang harus kukubur dan kugantikan dengan
penantian panjang selama 3 tahun. Aku yakin aku bisa. Aku pasti bisa.
“Aku
mencintaimu, Gema,” ucapku dalam hati tepat saat itu ia mengecup keningku.
0 komentar:
Posting Komentar