Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs
Bukan sesuatu yang istimewa, hanya rangkaian kata sederhana
Senin, 13 Januari 2014

Pertemuan Kembali



Saat itu aku tengah memandangi jendela kamar. Langkah kakiku berpijak disana. Memangku kedua tanganku dibahu jendela. Langit diluar sana mendung. Tiba-tiba suara handphone-ku berdering, tanda sms masuk.
————
From          : 082xxxxxxxxx
To              : Me
Hai, sombong nih. Masih inget aku?
————
From          : Me
To              : 082xxxxxxxxx
Sorry, who’re you? Aku gak kenal kamu.
————

From          : 082xxxxxxxxx
To              : Me
Yakin? Inget miniatur kristal biru?
————
From          : Me
To              : 082xxxxxxxxx
Ya Tuhan, Gema?
————
From          : 082xxxxxxxxx
To              : Me
Yap. Apa kabar? Lama gak ketemu kamu. Lama gak komunikasi sama kamu.
————
From          : Me
To              : 082xxxxxxxxx
Aku baik, kamu gimana? Iya udah 4 tahun lalu.. ada apa? Tumben sms.
————
From          : 082xxxxxxxxx
To              : Me
As usually, selalu baik kok. Hm aku mau ketemu kamu besok boleh?
————
From          : Me
To              : 082xxxxxxxxx
For what?
————
From          : 082xxxxxxxxx
To              : Me
Rahasia :p dateng ya ke taman jam 10. Aku tunggu :) see you..
————

Malam itu aku disibukkan oleh dua hal, tugas dan kamu. Entah naskah drama konyol apa yang sedang kumainkan. Tapi, aku sadar bahwa ini nyata dan aku tidak sedang berada dalam opera. Hanya saja, malam ini pikiranku tidak fokus. Aku membanting kasar tugas yang menumpuk diatas meja belajar. Aku berjalan menuju teras atas. Aku memandangi langit, tiba-tiba suaramu sayup-sayup menggema ditelingaku.
--
‘Kalo kangen aku lihat bintang aja, aku akan selalu jadi bintang kok buat kamu’
Aku tersentak. Memoriku terputar kembali. Aku seperti terlempar pada masa 4 tahun silam, ketika aku masih bersamamu. Aku ingat, saat aku selalu melewati malam di teras atas dan kamu menemaniku disebrang telepon sana. Kita mengurai tawa, menjabarkan cerita dan melewati malam yang sangat panjang. Kau biasa memainkan piano tengah malam. Mengalunkan melodi begitu indah. Pada saat yang bersamaan aku hanya merona, mengagumimu tanpa pernah mengatakannya padamu.
Hingga saat itu tiba…
.
.
Kau berbicara disebrang telepon, suaramu begitu cemas ketika kau mendapati suaraku tengah terisak. Nada bicaramu yang terdengar kacau.
“Kamu kenapa, sayang?” tanyamu cemas diujung sebrang sana.
Aku hanya mampu terdiam. Kau tak henti bertanya.
“Dhea, kamu kenapa? Kenapa kamu nangis? Ada apa sama kamu?” kini lebih banyak pertanyaan yang kau ajukan. Dan aku hanya mampu terisak dan tercekat.
Hening. Tak ada satupun yang berbicara. Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan isakan tangis. Rasanya sulit. Rasanya berat untuk mengatakan satu atau dua kata. Aku menghabiskan sisa air mataku seiring kekhawatirannya.
“Aku minta putus!” kataku dengan cepat dan tercekat.
“Ta, tapi kenapa, Dhe?” tanyamu tak percaya. Suaramu kaget setengah mati.
Aku menghela nafas panjang. “Aku gak bisa sama kamu lagi. Aku mau kita putus!” nada bicaraku meninggi, kemudian kuputuskan sambungan telepon. Aku menon-aktifkan handphone-ku.
Aku masuk kedalam kamar. Membanting tubuhku diatas kasur. Bulir demi bulir air mataku terjatuh kala aku tak kuasa menahan nyeri. Rasanya tak percaya bahwa aku mampu untuk berpisah denganmu. Hubungan kita baru saja seumur jagung, 2 bulan. Waktu yang sangat singkat untuk diakhiri dengan kata ‘pisah’. Namun apa daya, aku tak mempunyai pilihan. Aku tersudut disuatu ruang, hati kecilku. “Apa yang barusan aku lakukan?” tanyaku dalam hati.
.
.
Aku hanya tidak memiliki pilihan. Ketika salah satu sahabatku memiliki problem, dan itu menyangkut tentang dirimu. Aku hanya tidak memiliki kekuatan. Ketika aku terpaksa memilih diantara dua pilihan.


Aku tak bisa memilih salah satu diantara kalian, karena aku merasa kalian sangat berarti. Keadaanku saat itu dalam segala keterbatasan. Aku tak memiliki kuasa. Aku, perempuan kecil yang menjunjung tinggi persahabatan. Aku menyayangimu. Hanya saja, aku tidak memiliki daya untuk mempertahankanmu. Hingga akhirnya aku memilih sahabatku dibandingkan kamu.
Lucu memang, ketika aku harus mempertaruhkan hubungan kita hanya demi seorang sahabat. Namun ini nyata, dan jelas itu yang aku pilih. Dengan seluruh upayaku, aku memilih sahabatku. Bukan, bukan karena aku tidak menyayangimu. Aku hanya tidak bisa bermusuhan dengan sahabatku. Hingga sampai dimana aku dan kamu berpisah.
Kau membenciku, itu sangat jelas tergurat diraut wajahmu. Tapi inilah jalan yang aku pilih, kasih…
.
.
Kulewati malam yang dingin tanpa pernah kudengar suaramu lagi. Rintik hujan membahasi atap rumahku. Tak ada bintang, langit berkabut. Hujan membahasi tubuhku. Air yang turun dari langit itu semakin deras diiringi cahaya putih yang menyambar bumi. “Gema, aku takut petir,” lirihku sambil memalingkan wajah. Lagi, aku terisak disana.
Tahun pertama tanpamu kulewati dengan sangat berat. Banyak masalah yang kulalui seorang diri, tanpamu. Tidak ada lagi bunyi handphone yang selalu menggangguku setiap malam. Tidak ada lagi tawamu yang memenuhi ruang ditelingaku. Tidak ada lagi alunan melodi yang selalu kau bawa. Dan tidak ada lagi cerita diantara kita.
.
.
Suatu ketika, Tuhan memang punya kuasa untuk kita. Aku dan kamu diizinkan untuk bertemu disuatu ruang dalam segala keterbatasan waktu. Aku menggenggam bola kristal biru, miniatur kesukaanku dari kecil. Kau berjalan dari arah lain menggenggam benda kecoklatan, boneka kecil nan lucu.
Aku menatap matamu nanar. Menahan rindu yang tak kuasa kubendung. Aku rindu padamu, Gema. Sangat rindu. Apakah kau bisa menemukannya dimataku?
“Aku mau ngasih bola kristal ini sama kamu,” ucapku. Aku meraih tangan kanan Gema dan memberikan bola kristal biru kesukaanku. Rasanya berat memberikannya.
Kau hanya terdiam, tanpa sedikitpun berkata. Kau mengayunkan tangan kananmu yang berisi bola kristalku. Kemudian kau tersenyum kecut.
“Ini,” katamu acuh mengulurkan tangan yang dipenuhi oleh boneka kecil nan lucu itu.
Aku mengambilnya ragu.
“Jagain Dido ya, dia boneka aku dari kecil,” lanjutmu. Kau mengalihkan pandangan kemudian berjalan pergi menjauh tanpa menjelaskan apapun.
Aku menangis tersendu. Memandangi punggungmu yang menapaki jalan, menjauh dari tempat aku berdiam diri. Tubuhku rasanya lemas. Aku menghapus air mata dengan kasar, lalu berlari sekuat yang kubisa tanpa menoleh lagi.
***
Masa lalu itu begitu lama berputar didalam memoriku. Hingga tanpa sadar air mataku mulai berjatuhan.
“Kak Dhea,” panggil seseorang dari arah belakang punggungku. Suara adikku.
Aku buru-buru menghapus air mata dan menoleh ke sumber suara.“Ah, iya kenapa, De?” tanyaku.
“Itu dipanggil Mama suruh makan dulu udah siap,” jelasnya.
“Iya, nanti aja aku nyusul. Kamu duluan aja,” kataku pada adikku.
“Yaudah nanti makan ya, Kak,” katanya lagi lalu berlalu pergi meninggalkanku sendirian.
Aku membenah diri. Menata perasaanku yang terlalu melankolis mengenang masa lalu. Lalu bergegas untuk makan bersama keluargaku.
.
.
Aku menunggu di taman sesuai dengan permintaanmu. Banyak orang yang berlalu lalang hanya sekedar untuk bermain diwaktu weekend seperti saat ini. Aku seperti wanita asing yang menunggu dalam ketidakpastian. Setengah jam berlalu, aku masih setia menunggu. Aku berharap cemas. Kumembuka tas yang sedari tadi dipangkuan, lalu kuambil boneka pemberiannya 4 tahun lalu. Aku meremasnya.
Waktu terus saja berjalan, tapi aku tak sekalipun bergerak. Satu jam berlalu dan kamu belum datang juga. Aku mulai putus asa. Mungkin aku sedang dipermainkan oleh waktu. Mungkin aku sedang dipermainkan oleh keadaan. Dan lebih parahnya, mungkin saja aku sedang dipermainkan olehmu. Betapa aku menunggumu dengan sangat sabar di taman. Aku mengambil handphone dari saku celana. Tapi tak ada kabar darimu. Aku mencoba menghubungimu, dan saat itu nomormu tidak aktif. Aku mengeratkan genggaman, mencoba menahan tangis karena merasa dipermainkan olehmu.
Aku terkulai lemah dan pasrah. Aku putus asa. Aku mencoba beranjak hingga tiba-tiba dari arah belakang seseorang menahanku.
“Dhe,” panggilnya seraya menahan tanganku.
Aku menoleh pada si empunya genggaman tangan itu. Mataku jatuh pada tatapannya yang teduh. “Gema,” bisikku dalam hati.
“Kamu udah lama nunggu ya?” tanyanya kemudian melepas genggamannya.
“Iya udah sejam,” kataku jutek.
“Maaf tadi aku ada urusan sebentar,” katanya menyesal.
“Gak bisa. Emangnya kamu pikir waktuku cuma buat kamu doang apa? Bete tau nungguin kamu!” kataku ketus.
“Terus aku harus apa?” tanyanya. Raut mukanya tampak muram.
Aku memandangi setiap detail yang ada pada dirinya. Tidak ada yang berubah sedikitpun. Tatapan matanya, suaranya, kebaikan hatinya, semuanya masih sama seperti dulu. Hanya saja kini postur tubuh Gema lebih tinggi dan berisi dibanding dulu.
Gema masih terdiam. Aku melirik jahil, aku tersenyum. Kurasa memang Gema terlihat menyesal.
“Yakin nyesel gak nih?” tanyaku acuh sambil menahan senyum.
“Iya, please jangan ngambek dong.”
“Buat aku gak marah dong makanya,” pancingku padanya.
Kulihat ia tersenyum padaku. lalu ia mulai menutup kedua mataku dengan tangan kirinya.
“Hei, kamu mau apa?” tanyaku kaget.
“Udah diem aja, tutup mata kamu sebentar. Aku mau ambil sesuatu nih di tas,” jawabnya.
Tak lama kemudian, ketika ia melepaskan tangannya dari mataku. Kulihat 2 buah ice cream rasa strawberry. Aku melirik kearahnya sedikit sinis. Ia sepertinya menangkap maksudku.
“Hehe maaf maaf aku telat abisnya tadi nyari ice cream strawberry buat kamu. Kamu masih suka ice cream rasa strawberry kan?”
Aku tersenyum dan mengangguk. Gema membalas senyumku lalu menyodorkan ice cream padaku. Aku mengambilnya. Dia mengajakku untuk duduk dibangku taman sambil menikmati ice cream pemberian Gema.
Tak terasa waktu terus berjalan. 4 tahun sudah aku berpisah dengan Gema. Namun saat ini, aku merasa tak ada yang berubah dari Gema. Mungkin saja luka itu masih membekas dihatinya. Hanya saja, ia menyembunyikannya.
Aku melahap habis ice cream strawberry-ku. Lalu mengganggunya yang masih melahap ice cream dengan berantakan disetiap sudut bibirnya. Lalu aku mengambil tissue didalam tas, memberikannya pada Gema.
“Nih, elap dulu tuh mulut kamu belepotan sama ice cream. Kaya anak kecil, makan ice cream doang berantakan,” kataku sambil tertawa kecil.
Gema ikut tertawa. Lalu dia tak langsung mengambil tissue yang kujulurkan kearahnya. Ia malah meraih tanganku untuk mengelap disekitar mulutnya. Jantungku berdegup kencang. Tanganku serasa mati rasa. Genggaman tangan Gema kini begitu sangat erat. Aku hanya menatapnya kikuk.
Gema terlihat enggan melepas tanganku. Kini genggamannya malah semakin erat. Aku semakin dibuat linglung.
“Gema.. sa..sakit,”  kataku merintih.
Ia sedikit melonggarkan genggaman tangannya tapi tak berniat untuk melepaskan genggamannya.
“Ada apa Gema?” tanyaku heran.
“Ada apa? Kamu bilang ada apa?” ulangnya berkali-kali.
Aku terdiam. Tatapan mata Gema berubah, jauh lebih serius dan terlihat angkuh.
“Kenapa, Dhe? Kenapa dulu kamu ninggalin aku? Aku salah apa?” tanya Gema bertubi-tubi. Kemudian menghela nafas panjang. “Kamu kenapa pergi?” tanyanya lagi.
“Aku..aku..”
“Maafin aku. Aku gak bermaksud apa-apa,” kata Gema memotong kegerogianku. Lalu melepas tanganku. Ia memalingkan wajah.
“Gema,” panggilku. Namun tak ada sahutan darinya. Aku menyentuh pipinya. Ia menoleh kearahku. “Gema, aku minta maaf kalau aku dulu ninggalin kamu. Aku ninggalin kamu karena suatu sebab. Bukan karena aku gak sayang sama kamu, aku cuma…”
Gema mengunci bibirku dengan telunjuknya. Sudut mataku meneteskan air mata. Lalu Gema dengan cepat menghapusnya.
“Aku percaya kamu masih mencintaiku seperti dulu, Dhe. Matamu menjelaskan semuanya. Kamu gak perlu repot-repot untuk menjelaskan apapun. Karena aku cuma butuh melihat sisi matamu yang indah itu, matamu yang tak pernah bisa berbohong padaku.”
“Gema,” kataku lirih.
“Aku kangen banget sama kamu, Dhe. Seneng deh bisa ketemu lagi sama kamu disini. Ngeliat kamu sekarang ada didepan mata aku aja, aku seneng banget,” katanya.
Aku tersenyum menahan haru dan tangis.
“Dhe, aku sayang kamu,” bisik Gema ditelingaku.
Aku tak mampu berkata-kata. Rasanya semua impuls dalam otakku berhenti bekerja.
“Hari ini aku sengaja ngajak kamu ketemu. Karena aku mau berdua sama kamu seharian ini. Aku kangen banget sama kamu. Mungkin ini akan jadi yang terakhir.”
“Maksudmu?” tanyaku.
Gema tersenyum. “Mulai minggu depan aku harus nuntut ilmu selama 3 tahun. Jauh dari orang tua, jauh dari keluarga dan pastinya jauh dari kamu, Dhe.”
“Kemana, Gema?” aku masih saja bertanya.
“Aku sekolah kedinasan, Dhea. Makanya aku bilang ini hari terakhir, karena aku sadar waktuku pasti sangat terbatas.”
Aku senang. Sangat senang malah. Tapi aku juga merasa resah. Baru saja saat ini aku bertemu lagi dengan Gema. Namun ia memberikan kabar yang menggangguku, sekolah kedinasan 3 tahun. Itu artinya aku mempunyai waktu yang sangat sedikit dengannya.
“Dhea,” panggil Gema membuyarkan anganku.
“Hmm,”
“Jangan cemberut gitu dong. Aku cuma sekolah 3 tahun dan bukan berarti kita gak bisa ketemu lagi. Bisa, tapi mungkin sangat jarang. Dhea, kamu sayang sama aku?” tanyanya sedikit ragu.
Aku menganggung lemah. Gema tersenyum.
“Tunggu aku ya, Dhe, 3 tahun lagi aku akan kembali ke kamu seutuhnya. Kamu juga harus serius menata masa depan kamu. Aku akan berusaha untuk meluangkan sedikit waktuku untuk ketemu  kamu, pasti. Kamu mau kan nunggu aku?”
Aku gamang. Tapi aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama. “Iya, aku mau kok, Gema. Aku akan nunggu kamu,” jawabku diiringi senyuman yang paling manis.
“Makasih, Dhe. Aku cinta kamu.”
Lalu Gema mengecup keningku dengan lembut. Hari ini adalah awal dari kisahku dengan Gema. Yang telah lalu adalah kesalahan yang harus kukubur dan kugantikan dengan penantian panjang selama 3 tahun. Aku yakin aku bisa. Aku pasti bisa.
“Aku mencintaimu, Gema,” ucapku dalam hati tepat saat itu ia mengecup keningku.

0 komentar:

Posting Komentar