harus melakukan apa? Aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak punya hak untuk
marah padamu. Karena aku sadar, aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya seorang
gadis yang tak sengaja bertemu denganmu dipersimpangan jalan—ditengah keramaian
pasar—dengan cara yang
sangat menyebalkan.
Hal tersulit dalam hidup ini hanya ada satu—menerima
kenyataan.
Aku hanya mematung beberapa detik. Rasanya semua
aliran darah dalam tubuhku berhenti mendadak. Aku tidak tahu harus melakukan
apa. Aku hanya ingin satu hal, pergi dari tempat ini!
Aku membalikkan badan. Enggan untuk menatap—kemesraan
mereka—terlalu lama. Aku menahan tangis. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar
hebat. Aku berjalan tak tentu arah. Mencoba untuk mempercepat langkah dengan
lutut yang mulai terkulai lemas.
“Nessa,” teriak
Randu.
Aku tak mengindahkan teriakan Randu. Aku sempat
menoleh sebentar. Namun pemandangan yang kulihat hanyalah—pelukan dari wanita
itu—yang mencoba untuk menahan Randu yang ingin mengejarku.
Aku menepis tetesan air mata yang mulai terjatuh
membahasi kedua pipiku. Mencoba menenangkan perasaanku. Aku menghampiri Mama.
“Ma, kita pulang yuk,” ajakku pada Mama. Suaraku
benar-benar terdengar parau.
“Kamu kenapa, Nes?” tanya Mama khawatir.
“Kepalaku pusing banget, kaya ditusuk-tusuk jarum. Aku
kayanya butuh istirahat,Ma,” dustaku pada Mama.
“Yaudah, ayoo,” kata Mama sambil menuntunku menuju
parkiran. Sepertinya Mama memang percaya dengan kebohongan yang sengaja
kuciptakan.
Mama meninggalkan niatnya untuk berbelanja di pasar.
Kulihat Mama hanya menenteng satu kantong plastik yang didalamnya terdapat ayam
dan sayuran. Aku melajukan motor dengan kecepatan diatas rata-rata.
“Hati-hati, Nes, jangan ngebut,” kata Mama
memperingatkan.
Aku tak mendengarkan peringatan Mama. Fokusku
terpecah. Aku masih memikirkan mereka berdua—Randu dan Vania. Sekelebat wajah
mereka yang terlihat begitu akrab memainkan memoriku. Tangisku memecah di
perjalanan. Mama tidak tahu.
***
(Randu P.O.V)
Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya dengan cara
seperti ini; Aku, Nessa, dan Carol. Bingung harus menghadapi siatuasi seperti
sekarang ini. Rasanya semua pusat otakku mendadak berhenti bekerja.
Aku melihat wanita yang kucintai kini tengah berada di
hadapanku dengan tatapan yang sangat aneh. Lebih tepatnya bingung. Nessa
memanggilku, dan aku mengalihkan pandangan padanya. Dia tampak tak percaya
dengan kebersamaanku bersama Carol. Hingga Carol terlihat sangat akrab dengan
Nessa. Ralat, Carol yang terlihat ‘sok’ akrab dengan Nessa dan sepertinya ia mengenalnya.
Hingga Nessa membalikkan badannya dan berlalu dari sana.
“Nessa,” panggilku setengah berteriak. Hendak
mengejarnya, namun lingkaran tangan Carol dipinggang menahanku dengan kuat. Aku
melemah.
“Jangan pergi, Ran,” kata Carol mengiba.
Aku tak kuasa meninggalkan Carol sendirian, namun aku
juga tak bisa membiarkan Nessa pergi dengan kesalahpahaman ini. Kesalahpahaman?
Memangnya apa yang sudah kuperbuat? Memangnya aku siapanya Nessa? Sudahlah. Aku
memilih untuk tinggal bersama Carol. Membiarkan Nessa pergi begitu saja. Ada
perasaan yang nyeri. Dihatiku.
Aku menghela nafas panjang. Menahan kecewa dan amarah
pada diriku sendiri. Pikiranku terasa kacau. Aku membalikkan badan, menatap
Carol dengan tatapan tajam.
“Carol, kamu kenal Nessa?” tiba-tiba saja rasa ingin
tahuku mencuat. Aku menatap mata Carol. Mencari jawaban.
Carol terdiam.
“Carol,” panggilku.
“Kenal,” jawabnya singkat.
“Darimana?”
“Penting ya aku jawab?” alihnya.
“Carol, jawab!” nadaku naik satu oktaf.
“Dia itu temen sekolah aku. Lebih tepatnya temen
sekelasku,” tuturnya.
“Temen sekelas?” mataku terbelalak.
Bagaimana mungkin aku tidak tahu kalau ternyata Carol
satu sekolah dengan Nessa? Lebih tepatnya satu kelas!
Carol mengangguk. Sepertinya tidak ada yang ingin
dijelaskan lebih lanjut olehnya.
“Kenapa tadi dia manggil kamu dengan sebutan Vania?”
tanyaku.
“Ya ampun kamu udah jadi sahabat aku dari bayi, sampe
sekarang kamu gak tau nama aku, Ran? Nama aku tuh Vania Caroline,” tuturnya.
Vania Caroline? Aku bahkan baru sempat mendengar nama itu
sekarang. Buatku tak penting nama panjang Carol. Yang terpenting sekarang
adalah bagaimana bisa aku menjelaskan kesalahpahaman ini pada Nessa.
“Kamu kenapa sih, Randu?” tanyanya aneh. Menatap
mataku sangat lekat.
“Gapapa,” jawabku lemah. “Yaudah aku mau bantu Ibu,
lebih baik kamu pulang aja.”
“Tapi, Ran..”
“Udah cepet pulang sana nanti kamu dicariin bunda
kamu,” kataku lalu perlahan meninggalkan Carol sendirian.
Aku berjalan selangkah demi selangkah. Perasaanku
terasa remuk. Bagai kertas dalam buku yang disobek tanpa permisi oleh
pemiliknya. Aku mencoba mengatur pernafasan lalu menoleh kearah belakang—tempat
tragedi itu terjadi. Kulihat sepi. Mungkin saja Carol pun sudah meninggalkan
tempat itu.
***
Aku benar-benar tidak percaya. Sangat tidak. Sungguh.
Aku melamun di teras atas sendirian. Mengunci pintu dari luar agar tidak ada
yang bisa menemukanku disini. Lebih tepatnya, melihatku tersendu gara-gara pria
pasar bodoh itu!
Hatiku
nyeri. Sangat nyeri. Sakit itu datang bertubi-tubi. Ketika lelaki brengsek itu
lebih memilih wanita lain daripada aku yang telah lama menjadi kekasihnya,
perasaanku sakit luar biasa. Seperti kehilangan kendali. Joshua meninggalkanku
sendirian tanpa rasa belas kasihan sedikitpun. Hingga hujan turun, ia juga tak
kembali. Sampai pria itu datang melindungiku dan memberikan kenyamanan yang
telah lama hilang dari Joshua. Aku menyukainya. Tidak, saat ini aku
mencintainya. Pria pasar tradisional yang telah membuatku bergetar hebat. Pria
pasar yang membuatku merubah haluan. Denganmu aku nyaman, Randu.
Hanya
saja saat ini, entah mengapa hati yang sudah mulai kubangun hanya untuk
mencintaimu tiba-tiba hancur lebur menjadi serpihan puzzle yang tak tersusun.
Aku gamang. Mengapa kamu bersama wanita itu—wanita yang telah merebut
kebahagiaanku bersama Joshua? Mengapa harus wanita itu, Tuhan?
.
.
Aku menangis semalaman suntuk. Tak habis pikir dengan
apa yang kualami bertubi-tubi. Aku kacau. Sangat-sangat kacau. Aku terus
memutar memori ingatanku. Sikap-sikapnya yang manis terekam jelas dalam ingatan.
“Apakah dengan semua wanita kau seperti itu, Randu?” tanyaku dalam hati.
Aku hanya tak menyangka, pria sepolos Randu bisa
melakukan itu. Wajahnya seperti bayi suci yang tak pernah melakukan kesalahan.
“Mengapa aku jadi bodoh dan selemah ini cuma gara-gara kamu?” pikiranku
melambung. Aku menggelengkan kepala dengan kasar.
Aku harus fokus. Melupakan segalanya, termasuk tentang
kamu.
Aku akan fokus.
Fokus untuk masa depanku.
***
Matahari pagi menyorot tajam, menembus jendela kamar
dan menukik tajam persis ketempat tidurku. Aku menggerakkan badanku, mencoba
untuk merangkak bangun dari tempat tidur. Aku siap untuk menjalani hariku
seperti biasa—sekolah.
Ada rasa enggan dan malas untuk pergi kesekolah. Tapi
aku sadar aku sudah kelas 3, dan aku tidak bisa terus-menerus terbuai dalam
kemalasan.
Aku sampai di sekolah. Kemudian duduk dibangku sekolah
dengan santai. Aku mulai membaca buku-buku pelajaran. Memfokuskan diriku hanya
untuk pelajaran dan ujian. Tidak yang lain.
Tiba-tiba ada seorang wanita yang berjalan
mendekatiku. Aku mengangkat wajah. Vania.
Vania menatapku tajam. “Aku mau ngomong, boleh?” tanyanya
padaku dengan nada sedikit sinis.
“Ya,” jawabku singkat.
“Ada hubungan apa kamu sama Randu?” tiba-tiba Vania
langsung menanyakan hal itu padaku.
“Enggak ada hubungan apa-apa,” jawabku malas.
“Aku serius!” nada bicara Vania seperti membentak.
‘Siapa
dia? Apa haknya menanyakan itu padaku? itu bukan urusannya. Bukankah ia selalu
mendapatkan apa yang dia mau dari kepunyaanku? Mungkin saja dia juga ingin
memiliki Randu’ kataku dalam
hati.
“Kenapa? Kamu suka sama Randu? Ambil aja, aku gak
level dengan pria pasar yang kumuh kaya dia. Apa yang harus aku harapkan dari
seorang penjual bumbu di pasar yang becek kaya gitu? Gak ada. aku akan jatuh
cinta sama seseorang yang punya masa depan,” jawabku kesal. Aku mengambil headset dari dalam tasku lalu
mendengarkan musik dari mp3-ku dan mengabaikan Vania.
Kulihat sekilas, Vania tampak senang dan tersenyum
licik. Aku membiarkannya.
***
(Randu P.O.V)
“Nes, kamu apa kabar ya? Gimana perasaan kamu waktu
itu? Aku sempat melihatmu terisak. Aku ingin mejelaskan semua padamu. Tapi siapa
aku? Aku kangen kamu, Nes.”
Aku bergulat
dengan perasaanku sendiri. Memperdebatkan pikiran-pikiran dalam otakku. Ketika perasaanku
kacau, Carol selalu datang. Ia menghampiriku.
“Randu,” panggil
Carol dengan lembut.
“Iya, ada apa,
Carol?”
“Aku baru sadar,
kamu suka sama Nessa kan?”
Aku terdiam. Terkejut
dengan pertanyaan Carol yang tiba-tiba. Aku
hanya menerawang kearah luar. Hening.
“Randu,” panggil
Carol.
“Ah, eh, iya,
Carol?” tanggapku gelagapan.
“Dengan sikap
kamu yang begitu, itu udah menunjukkan kalau kamu emang beneran suka sama
Nessa. Tapi, Ran..” perkataan Vania menggantung.
“Tapi apa,
Carol?” tanyaku penasaran.
“Tapi aku takut
sakit hati dengan perasaan kamu. Aku takut kamu kecewa saat tau kenyataannya.”
“Kenyataan apa,
Carol? Jangan buat aku penasaran.”
“Nessa tidak
pernah mencintaimu, Randu. Dengarkan rekaman ini,” kata Vania lalu mengulurkan handphone-nya. Lalu memutarkan sebuah
rekaman.
‘Kenapa? Kamu suka sama Randu? Ambil aja, aku gak
level dengan pria pasar yang kumuh kaya dia. Apa yang harus aku harapkan dari
seorang penjual bumbu di pasar yang becek kaya gitu? Gak ada. aku akan jatuh
cinta sama seseorang yang punya masa depan’
Seketika tubuhku melemas. Seperti dihempaskan kedalam
jurang yang sangat dalam. Perasaanku berkecambuk. Sekelebat wajah Nessa
membayang dibatas pikiranku.
“Nessa,” panggilku dalam hati. Ada setitik airmata
yang kutahan disudut mataku.
To Be Continue
0 komentar:
Posting Komentar