Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs
Bukan sesuatu yang istimewa, hanya rangkaian kata sederhana
Kamis, 06 Februari 2014

Pria Pasar Tradisional VI




harus melakukan apa? Aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak punya hak untuk marah padamu. Karena aku sadar, aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya seorang gadis yang tak sengaja bertemu denganmu dipersimpangan jalan—ditengah keramaian pasar—dengan cara yang sangat menyebalkan.
Hal tersulit dalam hidup ini hanya ada satu—menerima kenyataan.
Aku hanya mematung beberapa detik. Rasanya semua aliran darah dalam tubuhku berhenti mendadak. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya ingin satu hal, pergi dari tempat ini!
Aku membalikkan badan. Enggan untuk menatap—kemesraan mereka—terlalu lama. Aku menahan tangis. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku berjalan tak tentu arah. Mencoba untuk mempercepat langkah dengan lutut yang mulai terkulai lemas.
 “Nessa,” teriak Randu.
Aku tak mengindahkan teriakan Randu. Aku sempat menoleh sebentar. Namun pemandangan yang kulihat hanyalah—pelukan dari wanita itu—yang mencoba untuk menahan Randu yang ingin mengejarku.
Aku menepis tetesan air mata yang mulai terjatuh membahasi kedua pipiku. Mencoba menenangkan perasaanku. Aku menghampiri Mama.
“Ma, kita pulang yuk,” ajakku pada Mama. Suaraku benar-benar terdengar parau.
“Kamu kenapa, Nes?” tanya Mama khawatir.
“Kepalaku pusing banget, kaya ditusuk-tusuk jarum. Aku kayanya butuh istirahat,Ma,” dustaku pada Mama.
“Yaudah, ayoo,” kata Mama sambil menuntunku menuju parkiran. Sepertinya Mama memang percaya dengan kebohongan yang sengaja kuciptakan.
Mama meninggalkan niatnya untuk berbelanja di pasar. Kulihat Mama hanya menenteng satu kantong plastik yang didalamnya terdapat ayam dan sayuran. Aku melajukan motor dengan kecepatan diatas rata-rata.
“Hati-hati, Nes, jangan ngebut,” kata Mama memperingatkan.
Aku tak mendengarkan peringatan Mama. Fokusku terpecah. Aku masih memikirkan mereka berdua—Randu dan Vania. Sekelebat wajah mereka yang terlihat begitu akrab memainkan memoriku. Tangisku memecah di perjalanan. Mama tidak tahu.
***
(Randu P.O.V)
Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya dengan cara seperti ini; Aku, Nessa, dan Carol. Bingung harus menghadapi siatuasi seperti sekarang ini. Rasanya semua pusat otakku mendadak berhenti bekerja.
Aku melihat wanita yang kucintai kini tengah berada di hadapanku dengan tatapan yang sangat aneh. Lebih tepatnya bingung. Nessa memanggilku, dan aku mengalihkan pandangan padanya. Dia tampak tak percaya dengan kebersamaanku bersama Carol. Hingga Carol terlihat sangat akrab dengan Nessa. Ralat, Carol yang terlihat ‘sok’ akrab dengan Nessa dan sepertinya ia mengenalnya. Hingga Nessa membalikkan badannya dan berlalu dari sana.
“Nessa,” panggilku setengah berteriak. Hendak mengejarnya, namun lingkaran tangan Carol dipinggang menahanku dengan kuat. Aku melemah.
“Jangan pergi, Ran,” kata Carol mengiba.
Aku tak kuasa meninggalkan Carol sendirian, namun aku juga tak bisa membiarkan Nessa pergi dengan kesalahpahaman ini. Kesalahpahaman? Memangnya apa yang sudah kuperbuat? Memangnya aku siapanya Nessa? Sudahlah. Aku memilih untuk tinggal bersama Carol. Membiarkan Nessa pergi begitu saja. Ada perasaan yang nyeri. Dihatiku.
Aku menghela nafas panjang. Menahan kecewa dan amarah pada diriku sendiri. Pikiranku terasa kacau. Aku membalikkan badan, menatap Carol dengan tatapan tajam.
“Carol, kamu kenal Nessa?” tiba-tiba saja rasa ingin tahuku mencuat. Aku menatap mata Carol. Mencari jawaban.
Carol terdiam.
“Carol,” panggilku.
“Kenal,” jawabnya singkat.
“Darimana?”
“Penting ya aku jawab?” alihnya.
“Carol, jawab!” nadaku naik satu oktaf.
“Dia itu temen sekolah aku. Lebih tepatnya temen sekelasku,” tuturnya.
“Temen sekelas?” mataku terbelalak.
Bagaimana mungkin aku tidak tahu kalau ternyata Carol satu sekolah dengan Nessa? Lebih tepatnya satu kelas!
Carol mengangguk. Sepertinya tidak ada yang ingin dijelaskan lebih lanjut olehnya.
“Kenapa tadi dia manggil kamu dengan sebutan Vania?” tanyaku.
“Ya ampun kamu udah jadi sahabat aku dari bayi, sampe sekarang kamu gak tau nama aku, Ran? Nama aku tuh Vania Caroline,” tuturnya.
Vania Caroline? Aku bahkan baru sempat mendengar nama itu sekarang. Buatku tak penting nama panjang Carol. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana bisa aku menjelaskan kesalahpahaman ini pada Nessa.
“Kamu kenapa sih, Randu?” tanyanya aneh. Menatap mataku sangat lekat.
“Gapapa,” jawabku lemah. “Yaudah aku mau bantu Ibu, lebih baik kamu pulang aja.”
“Tapi, Ran..”
“Udah cepet pulang sana nanti kamu dicariin bunda kamu,” kataku lalu perlahan meninggalkan Carol sendirian.
Aku berjalan selangkah demi selangkah. Perasaanku terasa remuk. Bagai kertas dalam buku yang disobek tanpa permisi oleh pemiliknya. Aku mencoba mengatur pernafasan lalu menoleh kearah belakang—tempat tragedi itu terjadi. Kulihat sepi. Mungkin saja Carol pun sudah meninggalkan tempat itu.
***
Aku benar-benar tidak percaya. Sangat tidak. Sungguh. Aku melamun di teras atas sendirian. Mengunci pintu dari luar agar tidak ada yang bisa menemukanku disini. Lebih tepatnya, melihatku tersendu gara-gara pria pasar bodoh itu!
Hatiku nyeri. Sangat nyeri. Sakit itu datang bertubi-tubi. Ketika lelaki brengsek itu lebih memilih wanita lain daripada aku yang telah lama menjadi kekasihnya, perasaanku sakit luar biasa. Seperti kehilangan kendali. Joshua meninggalkanku sendirian tanpa rasa belas kasihan sedikitpun. Hingga hujan turun, ia juga tak kembali. Sampai pria itu datang melindungiku dan memberikan kenyamanan yang telah lama hilang dari Joshua. Aku menyukainya. Tidak, saat ini aku mencintainya. Pria pasar tradisional yang telah membuatku bergetar hebat. Pria pasar yang membuatku merubah haluan. Denganmu aku nyaman, Randu.
Hanya saja saat ini, entah mengapa hati yang sudah mulai kubangun hanya untuk mencintaimu tiba-tiba hancur lebur menjadi serpihan puzzle yang tak tersusun. Aku gamang. Mengapa kamu bersama wanita itu—wanita yang telah merebut kebahagiaanku bersama Joshua? Mengapa harus wanita itu, Tuhan?
.
.
Aku menangis semalaman suntuk. Tak habis pikir dengan apa yang kualami bertubi-tubi. Aku kacau. Sangat-sangat kacau. Aku terus memutar memori ingatanku. Sikap-sikapnya yang manis terekam jelas dalam ingatan. “Apakah dengan semua wanita kau seperti itu, Randu?” tanyaku dalam hati.
Aku hanya tak menyangka, pria sepolos Randu bisa melakukan itu. Wajahnya seperti bayi suci yang tak pernah melakukan kesalahan. “Mengapa aku jadi bodoh dan selemah ini cuma gara-gara kamu?” pikiranku melambung. Aku menggelengkan kepala dengan kasar.
Aku harus fokus. Melupakan segalanya, termasuk tentang kamu.
Aku akan fokus.
Fokus untuk masa depanku.
***
Matahari pagi menyorot tajam, menembus jendela kamar dan menukik tajam persis ketempat tidurku. Aku menggerakkan badanku, mencoba untuk merangkak bangun dari tempat tidur. Aku siap untuk menjalani hariku seperti biasa—sekolah.
Ada rasa enggan dan malas untuk pergi kesekolah. Tapi aku sadar aku sudah kelas 3, dan aku tidak bisa terus-menerus terbuai dalam kemalasan.
Aku sampai di sekolah. Kemudian duduk dibangku sekolah dengan santai. Aku mulai membaca buku-buku pelajaran. Memfokuskan diriku hanya untuk pelajaran dan ujian. Tidak yang lain.
Tiba-tiba ada seorang wanita yang berjalan mendekatiku. Aku mengangkat wajah. Vania.
Vania menatapku tajam. “Aku mau ngomong, boleh?” tanyanya padaku dengan nada sedikit sinis.
“Ya,” jawabku singkat.
“Ada hubungan apa kamu sama Randu?” tiba-tiba Vania langsung menanyakan hal itu padaku.
“Enggak ada hubungan apa-apa,” jawabku malas.
“Aku serius!” nada bicara Vania seperti membentak.
‘Siapa dia? Apa haknya menanyakan itu padaku? itu bukan urusannya. Bukankah ia selalu mendapatkan apa yang dia mau dari kepunyaanku? Mungkin saja dia juga ingin memiliki Randu’ kataku dalam hati.
“Kenapa? Kamu suka sama Randu? Ambil aja, aku gak level dengan pria pasar yang kumuh kaya dia. Apa yang harus aku harapkan dari seorang penjual bumbu di pasar yang becek kaya gitu? Gak ada. aku akan jatuh cinta sama seseorang yang punya masa depan,” jawabku kesal. Aku mengambil headset dari dalam tasku lalu mendengarkan musik dari mp3-ku dan mengabaikan Vania.
Kulihat sekilas, Vania tampak senang dan tersenyum licik. Aku membiarkannya.
***
(Randu P.O.V)
“Nes, kamu apa kabar ya? Gimana perasaan kamu waktu itu? Aku sempat melihatmu terisak. Aku ingin mejelaskan semua padamu. Tapi siapa aku? Aku kangen kamu, Nes.”
Aku bergulat dengan perasaanku sendiri. Memperdebatkan pikiran-pikiran dalam otakku. Ketika perasaanku kacau, Carol selalu datang. Ia menghampiriku.
“Randu,” panggil Carol dengan lembut.
“Iya, ada apa, Carol?”
“Aku baru sadar, kamu suka sama Nessa kan?”
Aku terdiam. Terkejut dengan pertanyaan Carol yang tiba-tiba.  Aku hanya menerawang kearah luar. Hening.
“Randu,” panggil Carol.
“Ah, eh, iya, Carol?” tanggapku gelagapan.
“Dengan sikap kamu yang begitu, itu udah menunjukkan kalau kamu emang beneran suka sama Nessa. Tapi, Ran..” perkataan Vania menggantung.
“Tapi apa, Carol?” tanyaku penasaran.
“Tapi aku takut sakit hati dengan perasaan kamu. Aku takut kamu kecewa saat tau kenyataannya.”
“Kenyataan apa, Carol? Jangan buat aku penasaran.”
“Nessa tidak pernah mencintaimu, Randu. Dengarkan rekaman ini,” kata Vania lalu mengulurkan handphone-nya. Lalu memutarkan sebuah rekaman.
‘Kenapa? Kamu suka sama Randu? Ambil aja, aku gak level dengan pria pasar yang kumuh kaya dia. Apa yang harus aku harapkan dari seorang penjual bumbu di pasar yang becek kaya gitu? Gak ada. aku akan jatuh cinta sama seseorang yang punya masa depan’
Seketika tubuhku melemas. Seperti dihempaskan kedalam jurang yang sangat dalam. Perasaanku berkecambuk. Sekelebat wajah Nessa membayang dibatas pikiranku.
“Nessa,” panggilku dalam hati. Ada setitik airmata yang kutahan disudut mataku.

To Be Continue

0 komentar:

Posting Komentar