Sebelumnya--
(Randu P.O.V)
Aku tidak
percaya bahwa wanita yang mulai kucintai, kini sedang bersama dengan mantan
kekasihnya. Pikiran negatif menyusup kedalam pikiranku. Aku berlari cepat
menuju rumah. Setibanya di rumah, aku baru saja beristirahat dan mulai menenangkan
pikiranku. Tiba-tiba gadis itu datang menghampiriku. Lalu memelukku dengan
erat.
“Randu,” rengeknya. Dalam sekejap, ia memelukku dengan
erat. Merekatkan lingkaran tangannya dengan protektif. Ada luka yang kudengar
dari nada suara paraunya.
“Kamu kenapa?”
“Jangan tinggalin aku, Randu, jangan. Jangan untuk
sekarang,” pintanya padaku. Ia menangis sejadi-jadinya. Masih tetap memelukku
erat.
“Carol, kamu kenapa?” Pertanyaanku terdengar sangat
khawatir. “Cerita sama aku,” ucapku. Mencoba untuk menenangkan hatinya.
Gadis ini hanya menunduk. Tersenyum getir. Aku
mendengarkan cerita Carol dengan sangat hati-hati. Carol, ia adalah sahabat
masa kecilku ini memang sangat dekat denganku. Hampir selama 17 tahun aku
tumbuh dan berkembang bersamanya. Namun kini, kami bersekolah di SMA yang
berbeda.
Saat ini yang kutahu, Carol sedang menaruh hati pada
lelaki. Tapi entah mengapa, saat ini ia menangis begitu sendu. Ada luka yang
terpancar dari suaranya yang parau. Aku tidak tahu lelaki mana yang telah
menyakiti hati Carol sedalam ini. Aku tidak akan membiarkannya tenang. Namun,
Carol sepertinya enggan untuk memberitahu identitas lelaki itu. Aku hanya mampu
merengkuhnya dalam pelukan. Mengusap air mata juga punggungnya. Mencoba
menenangkan perasaannya. Lalu Carol mengangkat wajahnya.
“Randu, jangan biarkan aku sendiri. Janji padaku kalau
kamu gak akan ninggalin aku sendirian,” pintanya setengah memaksa.,
“Aku akan berusaha, Carol.”
***
Aku membanting pintu kamarku, lalu menuju teras atas.
Membuang semua kepenatan yang terus saja menempeli diriku tak habis-habisnya.
Seperti biasa, aku menghabiskan malam di teras atas. Memandangi langit yang
berhamburan bintang. Hanya ada satu bintang yang paling terang disana. “Randu,”
ucapku lirih.
Aku terhanyut oleh indahnya panorama malam yang
membiaskan kenangan. Tidak pernah sebelumnya kutemukan keindahan malam seperti
malam ini. Bintang terang itu seperti mengerlingkan cahayanya. Mencoba untuk
menarik perhatian padaku. Aku tersenyum.
“Kak,” panggil Daffa yang menghampiriku di teras atas.
“Eh, Daffa,” kataku terkejut melihat kehadiran adikku.
“Ada apa?” tanyaku padanya.
“Hm, kaka lagi ngapain di teras? Lagi mikirin sesuatu
ya?” tanyannya dengan hati-hati. Sepertinya anak kecil satu ini punya insting
yang kuat padaku.
“Ah, bukan apa-apa kok, Daffa. Kamu tidur sana udah
malem,” ucapku padanya dengan penuh perhatian. Walaupun adikku begitu
menyebalkan, namun aku menyayanginya begitu tulus.
“Yaudah aku tidur dulu ya kak Nessa,” katanya sembari
mencium pipiku. Aku merona. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman.
Daffa turun ke lantai bawah, menuju kamarnya. Semenit
melesat, aku masih terpaku memandanagi panorama malam. Begitu banyak kepenatan
yang menyelami perasaanku. Ingin sekali aku berteriak. Namun rasanya tertahan.
Kamu, yang entah mengapa bisa merubah aku menjadi
seseorang yang berbeda. Kamu, pria yang mampu memberikan rasa nyaman padaku.
Yang melindungiku dari derasnya hujan yang mengguyur tubuhku. Aku tidak
mengerti apa yang kau lakukan dan apa yang kau inginkan sebenarnya. Aku melamun.
“Nes,” ucap seorang wanita paruh baya sambil mengelus
kepalaku dengan lembut. Mama.
Aku menoleh. Malam ini aku dikagetkan oleh dua orang
sekaligus, Daffa dan Mama.
“Iya, Ma?”
“Kamu tadi abis ketemu Joshua ya?” tanya Mama
tiba-tiba.
“Ngg---“ aku enggan menjawab, namun binar kedua mata
Mama memancarakan rasa keingintahuan. “Iya, Ma, aku tadi bertemu dengan Joe,”
jawabku.
Seperti ada hembusan berat dari helaan nafas Mama. Aku
memperhatikan Mama dengan tatapan aneh. “Kenapa, Ma?”
“Hmm, gapapa, Nes. Mama cuma gatau harus berekspresi
gimana, kenapa kamu harus menemui Johua lagi. Jujur aja, Mama kurang suka sama
Joshua,” terangnya dengan sabar dan penuh perhatian.
“Aku gak bermaksud untuk kembali ke Joshua kok, Ma. Yaudahlah,
Ma, lagipula itu udah empat bulan berlalu. Kini, ada seseorang yang---“
tiba-tiba aku terhenti. Mengapa aku menjadi ceroboh seperti ini tentang
perasaanku. Mulutku rasanya tidak bisa diajak kompromi.
“Seseorang yang membuatmu nyaman setelah kepergian
Joshua?” tebaknya.
Aku mengangguk lemah. Aku tidak bisa berbohong kepadanya.
Mama memang selalu tahu yang tengah aku rasakan.
“Apa lelaki itu---“ ucapan Mama menggantung. “Randu?”
Aku terrdiam. Aku tidak mengerti mengapa Mama begitu
paham tentang perasaanku.
“Kamu gak bisa bohong sama Mama, Nes. Inget Mama tau
banget gimana kamu.”
“Aku bingung, Ma,” keluhku pada Mama.
Mama memelukku. Memberikan rasa kenyamanan yang
sama—saat dulu pria pasar itu memelukku di taman. Aku merasakan pipiku
menghangat.
“Mama mengerti, sayang, tentang kegudahan hatimu. Coba
kamu selami dalam-dalam perasaanmu. Apakah hatimu sudah benar-benar mantap
dengan Randu? Mama juga tidak ingin kejadian kamu dengan Joshua terulang lagi.”
Entah sejak kapan, perkataan Mama begitu menyentuh hatiku. Diam-diam aku selalu
membenarkan kata Mama dalam hati.
Mama melepaskan pelukannya.
“Yaudah, sekarang kamu tidur sana, udah malem,” ucap
Mama padaku. “Mau sampe kapan mandangin bintang yang bisu kaya gitu? Sampe
bintang itu berubah jadi Randu?” goda Mama.
Aku malah tertawa kecil. Mama bergegas pergi, dan
turun ke bawah. Diikuti oleh langkahku yang masuk ke dalam kamar. Malam itu aku
tidur dengan sangat gelisah.
***
Aku menarik selimut. Mentari menyorotkan sinar
cahayanya dengan sangat tajam. Menembus jendela kamarku. Rasanya enggan untuk
membiarkanku berlama-lama terbaring di atas tempat tidur. Aku bergegas ke kamar
mandi, menyambar handuk lalu menghilang di kamar mandi.
Minggu terakhir di bulan Oktober. Entah mengapa ada
perasaan yang menghangat dalam diriku. Aku tidak sabar untuk turun ke bawah.
Siapa tahu Mama akan mengajakku ke pasar. Lagi.
“Nessa,” panggil Mama setengah berteriak dari bawah.
Aku turun ke bawah, menghampiri Mama.
“Ada apa, Ma? Mau ngajak aku ke pasar lagi?” cercaku
pada Mama.
Mama hanya tertawa, memperlihatkan deretan giginya
yang tampak rapi. Kulihat Mama mengangguk menanggapi cercaanku.
“Yaudah, ayo. Aku udah siap nih,” kataku pada Mama.
“Tumben, biasanya kamu paling males kalo Mama ajak ke
pasar,” goda Mama.
“Kayanya sih mau ketemu kak Randu, Ma,” tebak Daffa
yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamarnya. Aku tersentak.
“Udah ah. Ayo, Ma, nanti keburu siang,” ucapku.
“Kak, aku nitip salam buat kak Randu!” kata Daffa
tiba-tiba.
“Bawel!” sergahku.
Aku bergegas pergi ke pasar bersama Mama. Aku mencoba
untuk mengatur nafas dan mengatur degupan jantung yang entah mengapa berdetak
tak beraturan.
***
(Randu P.O.V)
Aku bersiap ke pasar untuk membantu ibu seperti biasa.
Minggu terakhir di bulan Oktober ini begitu bersinar. Ada perasaan nyaman yang
menyusup dalam relung hatiku. Entah mengapa, aku ingin sekali bertemu dengan
gadis itu. Aku ingin menatap matanya yang indah. Tubuhnya tidak terlalu tinggi,
kira-kira hanya sebahuku. Juga rambut lurusnya yang mendekati pinggang.
“Randu,” kata seseorang mengejutkanku ketika aku baru
saja sampai di pasar.
Aku menoleh pada sumber suara. Aku terkejut melihat
siapa yang menghampiriku. Gadis itu, Carol.
“Carol..” panggilku pelan. “Mau apa kamu kesini?”
“Oh jadi aku gak boleh kesini?” tanyanya balik, memasang
wajah cemberut.
“Bukan gitu. Aku cuma kaget ngeliat kamu di pasar.”
“Ya, itu karena aku ingin menemuimu. Memangnya itu
salah?”
“Enggak kok, tapi aku masih bingung aja,” kataku pada
sahabat masa kecilku.
Carol terdiam. Sejak dia memelukku tempo hari, kulihat
keadaannya semakin membaik. Namun lingkaran disekitar matanya terlihat
menajamkan pandangannya. Menegaskan matanya yang sembap. Menyisakan kesenduan
dihatinya. Kentara sekali habis menangis semalaman.
“Randu,” kata Carol menggerakan kelima jarinya di
depan wajahku.
“Ah, eh, iya. Kenapa, Carol?” tanyaku gugup.
“Kamu lagi sibuk ya?” tanyanya dengan hati-hati.
“Enggak kok, cantik,” kataku pada Carol yang tengah
memperhatikanku. Aku mengulum senyum.
Aku tersentak. Carol merenggangkan lenganku yang sebelumnya
merapat dengan tubuhku. Lalu mengapit lengannya didalam lenganku. Pipinya
merona. Aku hanya mampu tersenyum kaku.
***
Aku tiba di pasar. Masih sama seperti seminggu yang
lalu, sebulan yang lalu bahkan semenjak aku menginjakkan kaki di tempat ini. Kondisi
pasar yang tidak karuan. Entah mengapa, kini aku mulai terbiasa. Lebih
tepatnya, terbiasa karena ingin melihatmu.
“Nes, kamu udah gak risih lagi sama pasar?” tanya Mama
tiba-tiba.
“Hmm—“ jawabanku menggantung. “Biasa aja tuh, Ma. Ya
walaupun sebenernya sih masih sedikit canggung dan aneh,” ucapku. Mencoba untuk
berbicara senormal mungkin.
“Bagus deh kalo gitu,” ucap Mama dengan helaan nafas
lega. Tangannya mengelus dada lembut.
“Mama mau belanja apa aja hari ini?” tanyaku.
“Apa ya?” ucap Mama sembari memikirkan sesuatu. Bola
matanya melayang kesudut kanan. “Gimana kalau ayam bakar sama sop iga? Duh,
Mama lagi kepengen banget nih.”
“Yaudah, kita masak itu aja, Ma,” jawabku. “Gimana
kalau kita bagi-bagi ngebelinya, Ma? Biar cepet terus gak terlalu makan waktu
juga,” tawarku pada Mama.
Mama terlihat menimbang-nimbang. Lalu mengangguk
sambil tersenyum. “Boleh,” ucapnya.
“Yaudah jadi aku harus beli apa aja, Ma?”
Mama terlihat tersenyum jahil. Aku tidak mengerti apa
yang sedang dipikirkan oleh Mama. Aku tak mampu menyelami arti senyum jahil
Mama.
“Ma,” panggilku sambil menepuk bahu Mama.
“Hmm—gimana kalau kamu beli bumbu jadi, biar Mama yang
beli ayam sama iganya?” tawar Mama sambil menahan senyum.
Oh
jadi ini yang dari tadi dipikirkan oleh Mama!
Aku tidak bisa membantah Mama. Alhasil, aku hanya
menurut apa yang telah diperintahkan oleh Mama. Aku mengangguk. Lalu menghilang
diantara tumpukan orang di pasar. Begitupula dengan Mama. Untung saja, tempat
jualan ayam dan iga tak jauh dari tempat aku dan Mama berdiri kini. Pedagang
ayam dan daging selalu menjadi favorite pembeli.
Jadi aku tidak usah repot-repot untuk mencari Mama nanti.
Aku berjalan menyusuri pasar, menuju tempat pedagang
bumbu jadi. Tempat Randu berada. Disetiap iringan langkahku, entah doa apa yang
kupanjatkan. Aku selalu berharap agar aku bisa melihat wajah tampannya yang
penuh dengan keseriusan.
Kurang dari 3 meter aku sampai di tempat Randu. Namun
langkahku tiba-tiba berhenti. Membeku. Ada suara Randu tengah berbicara dengan
seseorang. Aku penasaran. Aku melangkah lebih cepat. Aku menghampiri, namun kusisakan jarak.
“Randu,” panggil seseorang yang menyebut nama Randu
itu.
DEG. Dia wanita. Sejak kapan Randu dekat dengan wanita
lain? Di pasar dan di tengah keraiman seperti ini? Aku mencoba untuk menguping
pembicaraan mereka.
“Ah, eh, iya. Kenapa, Carol?” tanya Randu. Kulihat
raut wajahnya sedikit gugup.
“Kamu lagi sibuk ya?” tanya perempuan yang belum
sempat kulihat wajahnya dengan hati-hati.
Aku menghampiri semakin dekat. Jantungku mulai berdetak
tak karuan. Otakku kini tak jernih lagi. Aku hanya ingin tahu, bersama siapa
kini Randu.
“Enggak kok, cantik,” kata Randu pada perempuan itu. Mereka
terlihat sangat akrab. Akrab sekali.
Cantik?
Sejak kapan Randu pandai memuji? Pantas saja!
Aku membulatkan kedua mataku. Terkejut. Perempuan itu
merenggangkan lengan Randu yang sebelumnya merapat pada tubuhnya. Lalu mengapit
lengannya didalam lengan Randu. Kulihat Randu hanya tersenyum.
Rasa terkejut menghampiriku dengan seenaknya. Seperti
terhantam benda yang sangat keras. Nyeri. Aku berusaha mengontrol impuls otakku
agar dapat berpikir jernih. Rasanya aku ingin menangis. Aku menghampiri Randu.
Kali ini benar-benar dekat. Hanya berjarak kurang dari satu meter.
“Randu,” panggilku pelan. Randu melihat ke arahku.
“Nessa,” kata Randu tercenung. Seseorang yang tengah
bersama Randu menoleh, mengikuti arah bola mata Randu.
Kurasakan kedua pipiku menghangat. Ada bulir air mata
disudut mataku yang kutahan sekuat tenaga. Aku tak menyangka akan bertemu Randu
dengan cara seperti ini—bersama wanita lain.
Ketika wanita itu menoleh, aku tersentak. Seperti
dilempar dan dihempaskan kedalam jurang yang paling dalam. “Vania,” ucapku
lirih.
“Hai, Nes, kamu ngapain di pasar?” tanyanya dengan
nada ‘sok’ ramah. “Kamu kenal sama Nessa ya, Randu?” kini Vania bergantian
bertanya pada Randu.
Aku hanya mematung beberapa detik. Rasanya semua
aliran darah dalam tubuhku berhenti mendadak. Aku tidak tahu harus melakukan
apa. Aku hanya ingin satu hal, pergi dari tempat ini!
Aku membalikkan badan. Enggan untuk menatap—kemesraan
mereka—terlalu lama. Aku menahan tangis. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar
hebat. Aku berjalan tak tentu arah. Mencoba untuk mempercepat langkah dengan
lutut yang mulai terkulai lemas.
0 komentar:
Posting Komentar