Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs
Bukan sesuatu yang istimewa, hanya rangkaian kata sederhana
Rabu, 30 Oktober 2013

Pria Pasar Tradisional V


Sebelumnya--


(Randu P.O.V)

Aku tidak percaya bahwa wanita yang mulai kucintai, kini sedang bersama dengan mantan kekasihnya. Pikiran negatif menyusup kedalam pikiranku. Aku berlari cepat menuju rumah. Setibanya di rumah, aku baru saja beristirahat dan mulai menenangkan pikiranku. Tiba-tiba gadis itu datang menghampiriku. Lalu memelukku dengan erat.
“Randu,” rengeknya. Dalam sekejap, ia memelukku dengan erat. Merekatkan lingkaran tangannya dengan protektif. Ada luka yang kudengar dari nada suara paraunya.
“Kamu kenapa?”
“Jangan tinggalin aku, Randu, jangan. Jangan untuk sekarang,” pintanya padaku. Ia menangis sejadi-jadinya. Masih tetap memelukku erat.

“Carol, kamu kenapa?” Pertanyaanku terdengar sangat khawatir. “Cerita sama aku,” ucapku. Mencoba untuk menenangkan hatinya.
Gadis ini hanya menunduk. Tersenyum getir. Aku mendengarkan cerita Carol dengan sangat hati-hati. Carol, ia adalah sahabat masa kecilku ini memang sangat dekat denganku. Hampir selama 17 tahun aku tumbuh dan berkembang bersamanya. Namun kini, kami bersekolah di SMA yang berbeda.
Saat ini yang kutahu, Carol sedang menaruh hati pada lelaki. Tapi entah mengapa, saat ini ia menangis begitu sendu. Ada luka yang terpancar dari suaranya yang parau. Aku tidak tahu lelaki mana yang telah menyakiti hati Carol sedalam ini. Aku tidak akan membiarkannya tenang. Namun, Carol sepertinya enggan untuk memberitahu identitas lelaki itu. Aku hanya mampu merengkuhnya dalam pelukan. Mengusap air mata juga punggungnya. Mencoba menenangkan perasaannya. Lalu Carol mengangkat wajahnya.
“Randu, jangan biarkan aku sendiri. Janji padaku kalau kamu gak akan ninggalin aku sendirian,” pintanya setengah memaksa.,
“Aku akan berusaha, Carol.”
***
Aku membanting pintu kamarku, lalu menuju teras atas. Membuang semua kepenatan yang terus saja menempeli diriku tak habis-habisnya. Seperti biasa, aku menghabiskan malam di teras atas. Memandangi langit yang berhamburan bintang. Hanya ada satu bintang yang paling terang disana. “Randu,” ucapku lirih.
Aku terhanyut oleh indahnya panorama malam yang membiaskan kenangan. Tidak pernah sebelumnya kutemukan keindahan malam seperti malam ini. Bintang terang itu seperti mengerlingkan cahayanya. Mencoba untuk menarik perhatian padaku. Aku tersenyum.
“Kak,” panggil Daffa yang menghampiriku di teras atas.
“Eh, Daffa,” kataku terkejut melihat kehadiran adikku. “Ada apa?” tanyaku padanya.
“Hm, kaka lagi ngapain di teras? Lagi mikirin sesuatu ya?” tanyannya dengan hati-hati. Sepertinya anak kecil satu ini punya insting yang kuat padaku.
“Ah, bukan apa-apa kok, Daffa. Kamu tidur sana udah malem,” ucapku padanya dengan penuh perhatian. Walaupun adikku begitu menyebalkan, namun aku menyayanginya begitu tulus.
“Yaudah aku tidur dulu ya kak Nessa,” katanya sembari mencium pipiku. Aku merona. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman.
Daffa turun ke lantai bawah, menuju kamarnya. Semenit melesat, aku masih terpaku memandanagi panorama malam. Begitu banyak kepenatan yang menyelami perasaanku. Ingin sekali aku berteriak. Namun rasanya tertahan.
Kamu, yang entah mengapa bisa merubah aku menjadi seseorang yang berbeda. Kamu, pria yang mampu memberikan rasa nyaman padaku. Yang melindungiku dari derasnya hujan yang mengguyur tubuhku. Aku tidak mengerti apa yang kau lakukan dan apa yang kau inginkan sebenarnya. Aku melamun.
“Nes,” ucap seorang wanita paruh baya sambil mengelus kepalaku dengan lembut. Mama.
Aku menoleh. Malam ini aku dikagetkan oleh dua orang sekaligus, Daffa dan Mama.
“Iya, Ma?”
“Kamu tadi abis ketemu Joshua ya?” tanya Mama tiba-tiba.
“Ngg---“ aku enggan menjawab, namun binar kedua mata Mama memancarakan rasa keingintahuan. “Iya, Ma, aku tadi bertemu dengan Joe,” jawabku.
Seperti ada hembusan berat dari helaan nafas Mama. Aku memperhatikan Mama dengan tatapan aneh. “Kenapa, Ma?”
“Hmm, gapapa, Nes. Mama cuma gatau harus berekspresi gimana, kenapa kamu harus menemui Johua lagi. Jujur aja, Mama kurang suka sama Joshua,” terangnya dengan sabar dan penuh perhatian.
“Aku gak bermaksud untuk kembali ke Joshua kok, Ma. Yaudahlah, Ma, lagipula itu udah empat bulan berlalu. Kini, ada seseorang yang---“ tiba-tiba aku terhenti. Mengapa aku menjadi ceroboh seperti ini tentang perasaanku. Mulutku rasanya tidak bisa diajak kompromi.
“Seseorang yang membuatmu nyaman setelah kepergian Joshua?” tebaknya.
Aku mengangguk lemah. Aku tidak bisa berbohong kepadanya. Mama memang selalu tahu yang tengah aku rasakan.
“Apa lelaki itu---“ ucapan Mama menggantung. “Randu?”
Aku terrdiam. Aku tidak mengerti mengapa Mama begitu paham tentang perasaanku.
“Kamu gak bisa bohong sama Mama, Nes. Inget Mama tau banget gimana kamu.”
“Aku bingung, Ma,” keluhku pada Mama.
Mama memelukku. Memberikan rasa kenyamanan yang sama—saat dulu pria pasar itu memelukku di taman. Aku merasakan pipiku menghangat.
“Mama mengerti, sayang, tentang kegudahan hatimu. Coba kamu selami dalam-dalam perasaanmu. Apakah hatimu sudah benar-benar mantap dengan Randu? Mama juga tidak ingin kejadian kamu dengan Joshua terulang lagi.” Entah sejak kapan, perkataan Mama begitu menyentuh hatiku. Diam-diam aku selalu membenarkan kata Mama dalam hati.
Mama melepaskan pelukannya.
“Yaudah, sekarang kamu tidur sana, udah malem,” ucap Mama padaku. “Mau sampe kapan mandangin bintang yang bisu kaya gitu? Sampe bintang itu berubah jadi Randu?” goda Mama.
Aku malah tertawa kecil. Mama bergegas pergi, dan turun ke bawah. Diikuti oleh langkahku yang masuk ke dalam kamar. Malam itu aku tidur dengan sangat gelisah.
***
Aku menarik selimut. Mentari menyorotkan sinar cahayanya dengan sangat tajam. Menembus jendela kamarku. Rasanya enggan untuk membiarkanku berlama-lama terbaring di atas tempat tidur. Aku bergegas ke kamar mandi, menyambar handuk lalu menghilang di kamar mandi.
Minggu terakhir di bulan Oktober. Entah mengapa ada perasaan yang menghangat dalam diriku. Aku tidak sabar untuk turun ke bawah. Siapa tahu Mama akan mengajakku ke pasar. Lagi.
“Nessa,” panggil Mama setengah berteriak dari bawah.
Aku turun ke bawah, menghampiri Mama.
“Ada apa, Ma? Mau ngajak aku ke pasar lagi?” cercaku pada Mama.
Mama hanya tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang tampak rapi. Kulihat Mama mengangguk menanggapi cercaanku.
“Yaudah, ayo. Aku udah siap nih,” kataku pada Mama.
“Tumben, biasanya kamu paling males kalo Mama ajak ke pasar,” goda Mama.
“Kayanya sih mau ketemu kak Randu, Ma,” tebak Daffa yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu kamarnya. Aku tersentak.
“Udah ah. Ayo, Ma, nanti keburu siang,” ucapku.
“Kak, aku nitip salam buat kak Randu!” kata Daffa tiba-tiba.
“Bawel!” sergahku.
Aku bergegas pergi ke pasar bersama Mama. Aku mencoba untuk mengatur nafas dan mengatur degupan jantung yang entah mengapa berdetak tak beraturan.
***
(Randu P.O.V)
Aku bersiap ke pasar untuk membantu ibu seperti biasa. Minggu terakhir di bulan Oktober ini begitu bersinar. Ada perasaan nyaman yang menyusup dalam relung hatiku. Entah mengapa, aku ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Aku ingin menatap matanya yang indah. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kira-kira hanya sebahuku. Juga rambut lurusnya yang mendekati pinggang.
“Randu,” kata seseorang mengejutkanku ketika aku baru saja sampai di pasar.
Aku menoleh pada sumber suara. Aku terkejut melihat siapa yang menghampiriku. Gadis itu, Carol.
“Carol..” panggilku pelan. “Mau apa kamu kesini?”
“Oh jadi aku gak boleh kesini?” tanyanya balik, memasang wajah cemberut.
“Bukan gitu. Aku cuma kaget ngeliat kamu di pasar.”
“Ya, itu karena aku ingin menemuimu. Memangnya itu salah?”
“Enggak kok, tapi aku masih bingung aja,” kataku pada sahabat masa kecilku.
Carol terdiam. Sejak dia memelukku tempo hari, kulihat keadaannya semakin membaik. Namun lingkaran disekitar matanya terlihat menajamkan pandangannya. Menegaskan matanya yang sembap. Menyisakan kesenduan dihatinya. Kentara sekali habis menangis semalaman.
“Randu,” kata Carol menggerakan kelima jarinya di depan wajahku.
“Ah, eh, iya. Kenapa, Carol?” tanyaku gugup.
“Kamu lagi sibuk ya?” tanyanya dengan hati-hati.
“Enggak kok, cantik,” kataku pada Carol yang tengah memperhatikanku. Aku mengulum senyum.
Aku tersentak. Carol merenggangkan lenganku yang sebelumnya merapat dengan tubuhku. Lalu mengapit lengannya didalam lenganku. Pipinya merona. Aku hanya mampu tersenyum kaku.
***
Aku tiba di pasar. Masih sama seperti seminggu yang lalu, sebulan yang lalu bahkan semenjak aku menginjakkan kaki di tempat ini. Kondisi pasar yang tidak karuan. Entah mengapa, kini aku mulai terbiasa. Lebih tepatnya, terbiasa karena ingin melihatmu.
“Nes, kamu udah gak risih lagi sama pasar?” tanya Mama tiba-tiba.
“Hmm—“ jawabanku menggantung. “Biasa aja tuh, Ma. Ya walaupun sebenernya sih masih sedikit canggung dan aneh,” ucapku. Mencoba untuk berbicara senormal mungkin.
“Bagus deh kalo gitu,” ucap Mama dengan helaan nafas lega. Tangannya mengelus dada lembut.
“Mama mau belanja apa aja hari ini?” tanyaku.
“Apa ya?” ucap Mama sembari memikirkan sesuatu. Bola matanya melayang kesudut kanan. “Gimana kalau ayam bakar sama sop iga? Duh, Mama lagi kepengen banget nih.”
“Yaudah, kita masak itu aja, Ma,” jawabku. “Gimana kalau kita bagi-bagi ngebelinya, Ma? Biar cepet terus gak terlalu makan waktu juga,” tawarku pada Mama.
Mama terlihat menimbang-nimbang. Lalu mengangguk sambil tersenyum. “Boleh,” ucapnya.
“Yaudah jadi aku harus beli apa aja, Ma?”
Mama terlihat tersenyum jahil. Aku tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Mama. Aku tak mampu menyelami arti senyum jahil Mama.
“Ma,” panggilku sambil menepuk bahu Mama.
“Hmm—gimana kalau kamu beli bumbu jadi, biar Mama yang beli ayam sama iganya?” tawar Mama sambil menahan senyum.
Oh jadi ini yang dari tadi dipikirkan oleh Mama!
Aku tidak bisa membantah Mama. Alhasil, aku hanya menurut apa yang telah diperintahkan oleh Mama. Aku mengangguk. Lalu menghilang diantara tumpukan orang di pasar. Begitupula dengan Mama. Untung saja, tempat jualan ayam dan iga tak jauh dari tempat aku dan Mama berdiri kini. Pedagang ayam dan daging selalu menjadi favorite pembeli. Jadi aku tidak usah repot-repot untuk mencari Mama nanti.
Aku berjalan menyusuri pasar, menuju tempat pedagang bumbu jadi. Tempat Randu berada. Disetiap iringan langkahku, entah doa apa yang kupanjatkan. Aku selalu berharap agar aku bisa melihat wajah tampannya yang penuh dengan keseriusan.
Kurang dari 3 meter aku sampai di tempat Randu. Namun langkahku tiba-tiba berhenti. Membeku. Ada suara Randu tengah berbicara dengan seseorang. Aku penasaran. Aku melangkah lebih cepat.  Aku menghampiri, namun kusisakan jarak.
“Randu,” panggil seseorang yang menyebut nama Randu itu.
DEG. Dia wanita. Sejak kapan Randu dekat dengan wanita lain? Di pasar dan di tengah keraiman seperti ini? Aku mencoba untuk menguping pembicaraan mereka.
“Ah, eh, iya. Kenapa, Carol?” tanya Randu. Kulihat raut wajahnya sedikit gugup.
“Kamu lagi sibuk ya?” tanya perempuan yang belum sempat kulihat wajahnya dengan hati-hati.
Aku menghampiri semakin dekat. Jantungku mulai berdetak tak karuan. Otakku kini tak jernih lagi. Aku hanya ingin tahu, bersama siapa kini Randu.
“Enggak kok, cantik,” kata Randu pada perempuan itu. Mereka terlihat sangat akrab. Akrab sekali.
Cantik? Sejak kapan Randu pandai memuji? Pantas saja!
Aku membulatkan kedua mataku. Terkejut. Perempuan itu merenggangkan lengan Randu yang sebelumnya merapat pada tubuhnya. Lalu mengapit lengannya didalam lengan Randu. Kulihat Randu hanya tersenyum.
Rasa terkejut menghampiriku dengan seenaknya. Seperti terhantam benda yang sangat keras. Nyeri. Aku berusaha mengontrol impuls otakku agar dapat berpikir jernih. Rasanya aku ingin menangis. Aku menghampiri Randu. Kali ini benar-benar dekat. Hanya berjarak kurang dari satu meter.
“Randu,” panggilku pelan. Randu melihat ke arahku.
“Nessa,” kata Randu tercenung. Seseorang yang tengah bersama Randu menoleh, mengikuti arah bola mata Randu.
Kurasakan kedua pipiku menghangat. Ada bulir air mata disudut mataku yang kutahan sekuat tenaga. Aku tak menyangka akan bertemu Randu dengan cara seperti ini—bersama wanita lain.
Ketika wanita itu menoleh, aku tersentak. Seperti dilempar dan dihempaskan kedalam jurang yang paling dalam. “Vania,” ucapku lirih.
“Hai, Nes, kamu ngapain di pasar?” tanyanya dengan nada ‘sok’ ramah. “Kamu kenal sama Nessa ya, Randu?” kini Vania bergantian bertanya pada Randu.
Aku hanya mematung beberapa detik. Rasanya semua aliran darah dalam tubuhku berhenti mendadak. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya ingin satu hal, pergi dari tempat ini!
Aku membalikkan badan. Enggan untuk menatap—kemesraan mereka—terlalu lama. Aku menahan tangis. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku berjalan tak tentu arah. Mencoba untuk mempercepat langkah dengan lutut yang mulai terkulai lemas.
“Nessa,” teriak Randu.

To Be Continue

Selanjutnya-- 

0 komentar:

Posting Komentar