Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs
Bukan sesuatu yang istimewa, hanya rangkaian kata sederhana
Sabtu, 26 Oktober 2013

Pria Pasar Tradisional IV


Sebelumnya-- 



Sore itu aku ada di taman, bersama seseorang yang pernah menolongku di taman ini. Pria pasar itu entah sejak kapan, mulai mengobati rasa sakit hatiku. Selalu ada senyum yang terukir ketika berada didekatnya.
“Aku boleh ngomong sesuatu?” tanya Randu tiba-tiba.
“Boleh, apa?” kataku penasaran.
Randu diam. Menit demi menit melesat, tak ada yang mampu bersuara. Hanya suara angin dan kicauan burung di taman yang mulai menyusup dalam telingaku. Aku menunggunya untuk bertanya suatu hal padaku.
“Hei, apa?” aku mengulangi perkataanku, menepuk bahunya.
“Kamu lebih terlihat cantik kalau sedang tersenyum. Manis sekali. Aku menyukainya,” ucapnya. Diksi yang tepat dengan pelafalan yang pas.
Aku terpana. Kemudian kutatap lekat-lekat kedua matanya. Tak satu pun kutemukan alasan yang pasti ketika ia mengucapkan hal itu. Juga tidak ada bualan yang ingin ia lakukan. Kulihat itu hanyalah sebuah ungkapan yang tak sengaja ia ucapkan. Matanya tersorot tajam, menatap balik kedua mataku.

Aku sangat gugup. Jantungku dagdigdug tak beraturan. Rasanya nadiku berhenti berdetak. Aku tidak tahu, perasaan macam apa ini. Bahagia tidak jelas. Benar-benar absurd. Aku mengalihkan padanganku kearah lain. Aku tidak ingin terlihat gugup dihadapannya. “Apa-apaan aku ini, tidak mungkin aku menaruh hati pada pria pasar macam dia,” batinku.
“Hm, aku pulang dulu ya. Udah sore takut dicariin Mama,” pamitku padanya.
Aku meninggalkannya sendirian duduk di bangku taman. Perasaanku kacau, tak karuan. Aku meluncur menuju rumah.
***
“Kak,” panggil Daffa disela-sela aku membaca novel.
“Kenapa, Daffa?”
“Aku penasaran deh sama kak Randu,” katanya kemudian.
“Loh, ngapain kamu tiba-tiba nanyain dia?” Aku sedikit kaget dengan apa yang dikatakan oleh Daffa padaku.
“Ya gapapa sih, besok kalo ke pasar lagi sama Mama, aku ikut ya kak?” pintanya.
“Hmm, gimana ya,” kataku menimbang-nimbang.
“Ayolah, kak, please,” ucapnya sambil memohon-mohon.
“Iya, jelek.”
“Horeee! Makasih kak Nessa,” kata Daffa lalu mencium pipi kananku.
Keesokan harinya, Mama mengajakku kepasar, lagi. Kali ini aku tidak pergi berdua, tapi pergi bersama Daffa juga. Bocah kecil itu memang selalu merepotkan. Aku membonceng Mama dan Daffa ke pasar.
“Waaahh, pasarnya rame banget, Ma,” ucap Daffa terkagum-kagum.
“Ya iyalah pasar dimana-mana rame, mana ada pasar yang sepi,” celetukku.
“Huss Nessa, kamu bukannya ngomong yang bener sama adik kamu,” tegur Mama padaku.
“Iya, Ma, maaf,” kataku menyesal.
Hari libur itu benar-benar membosankan. Lagi-lagi kepasar. Kulihat Daffa terlihat gembira berada di pasar, seperti menemukan tempat baru untuk menjadi bahan penelitian mainannya. Ia merengek pada Mama untuk membeli mainan. Setelah menututi kemauan Daffa, Mama langsung bergegas ke tukang bumbu jadi seperti biasa.
“Ma, ini tempat kak Randu jualan?” tanya Daffa dengan polosnya.
Sebelum Mama menjawab, datanglah Randu dari arah timur, membawa sekarung kelapa. Lengannya yang kekar hingga beberapa uratnya Nampak terlihat jelas. “Ya Tuhan, dia ganteng banget,” batinku. Aku melamun. Lalu aku menyadarkan lamunanku sendiri, “apa-apaan aku ini,” ucapku dalam hati.
“Iya itu kak Randu, Daffa,” jawab Mama.
“Kak Randu,” panggil Daffa setengah berteriak ketika Randu mulai menghampiri.
Perasaan itu muncul lagi, seiring dengan langkah kakinya yang mendekat. Bukan untukku dia menghampiri, tapi pada Daffa. Aku menghela nafas panjang.
“Eh, kamu adiknya Nessa kan?” tanya Randu dengan sangat ramah.
“Iya, kak, kenalin dong aku Daffa.”
Randu tersenyum. Ia terlihat begitu menyukai Daffa. Pagi itu serasa sangat panjang, dan semenjak saat itu mulutku terasa terkunci rapat-rapat.
Aku hanya mampu menatapnya dengan tatapan sinis. Entah mengapa pujiannya kemarin benar-benar membuatku salah tingkah sekaligus sebal.
Buat apa juga dia mengatakan hal itu? Dia baru saja mengenalku. Dasar tidak sopan! –pikirku.
***
Setelah berbulan-bulan aku menyandang status seorang diri –tanpa seorang kekasih, aku mulai merasakan benar-benar sendirian. Tidak ada canda tawa bersama seseorang yang special, tidak ada perhatian yang lebih. Ya, seperti yang sudah-sudah, aku hanya mampu menyelami alam bawah sadarku. Berfantasi seandainya jika aku mempunyai seorang kekasih.
Tiba-tiba saja, wajah pria itu muncul, berkelebatan di otakku.
“Apa yang aku pikirkan?” batinku. Aku menghembuskan nafas kasar. Mencoba untuk menghilangkan wajah itu dari fantasiku. Aku sudah tidak ingin mengingatnya lagi. “Toh dia cuma pria pasar kumuh yang kebetulan menolongku ketika aku putus dari Joe. Tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan,” ucapku dalam hati. Meyakini diriku sendiri.
Ada perasaan yang terasa teringkari. Perasaanku tiba-tiba gelisah. Entah apa yang terasa kini. Tidak dapat kupungkiri, lelaki itu benar-benar sudah menguasai pikiranku sepenuhnya. Mungkin aku menyukainya, mungkin aku mengaguminya atau lebih parahnya aku mungkin mencintainya. “TIDAK!!!” Aku segera menghapus pikiran itu.
Aku memandangi langit yang mulai merona kemerahan. Senja itu datang sempurna. Menenggelamkan segala kenangan dalam kebisuan. Sedetik sebelum senja itu benar-benar tenggelam, tanganku sekelebat saling menggenggam, aku menutup mata. “Jika dia mencintaiku, senja, jadikan ia yang terindah dan semoga tidak ada rasa sakit dari lelaki yang membuatku nyaman itu,” ucapku pelan. Aku menghela nafas. Senja bergeser menjadi petang. Aku masuk kedalam kamar, meninggalkan harapan konyol yang baru saja kupanjatkan.
Aku berbaring di tempat tidurku. Memandangi miniature hello kitty yang memenuhi ruang di kamarku. Tiba-tiba saja handphone-ku bordering. Tanda pesan masuk.
Bisakah aku berbicara denganmu, Nessa? Ada hal yang ingin aku katakana padamu.
Joshua. Pukul 19.30
***
(Randu P.OV)
Tidak tahu harus bagaimana kumulai. Sejak awal aku bertemu dengannya, tiba-tiba saja perasaanku bergemuruh. Waktu itu aku baru saja datang ke pasar, ibu menyuruhku datang ke pasar untuk membantunya.
Aku hanya seorang pelajar kelas 3 SMA. Ibuku berdagang di pasar untuk membiayai keluarga. Ayahku entah dimana keberadaannya. Ia pergi begitu saja meninggalkan keluarganya. Tanpa kabar, tanpa memberi nafkah sedikitpun hingga detik ini. Sebelumnya, aku tidak perlu bersusah payah untuk pergi ke pasar membantu ibu. Ibu pun tidak usah berdagang seperti ini untuk membiayaiku sekolah. Dulu aku dan keluargaku berkecukupan. Hingga pada suatu saat ayah meninggalkanku dan ibu. Baru aku tahu ternyata ayah memiliki wanita lain. Dan kini aku sudah melupakannya.
.
.
Aku mempercepat langkahku untuk menghampiri ibu, namun tiba-tiba ada seseorang yang menyenggolku, membuatku kehilangan keseimbangan. Tanpa sadar aku menabrak seorang wanita tak jauh dari tempat aku kehilangan keseimbangan. Gadis itu terjatuh. Lalu menyalahkanku.
Sejak kejadian itu entah mengapa pusat pikiranku selalu mengarah hanya kepadanya. Gadis mungil itu memancarkan binar matanya yang bercahaya. Perasaan yang bergemuruh itu, langsung saja membuat dadaku berdegup kencang. “Aku tidak akan melupakanmu. Tidak untuk sekarang,” ucapku dalam hati.
Sejak awal kejadian itu dan pertemuanku yang begitu kebetulan dengannya. Membuatku sering menjatuhkan pandanganku kearahnya. Pertemuan pertama yang mungkin membuatnya menyebalkan, pertemuan selanjutnya yang menyedihkan hatinya.
Sudah hampir 4 bulan aku mengaguminya. Bukan sekedar mengagumi, mungkin saja perlahan hatiku bergerak untuk mencintainya. Entahlah.
Sore ini aku pergi ke taman untuk jogging. Udaranya dengan lembut menyapu wajahku. Aku menghirup dengan dalam. Aku berkeliling taman. Aku teringat pada taman ini, tempat dimana gadis mungil itu menangis sesenggukan. Tempat dimana aku dapat merasakan tubuhnya yang mungil dapat kurengkuh dengan pelukanku.
Aku berjalan ringan menghampiri tempat itu –tempat aku bertemu denganmu. Sayup-sayup kudengar suara seorang gadis berbicara. Suaranya sangat kukenali. Kamu.
“Kenapa, Joe?” ucap gadis itu.
Aku melihatnya bersama seorang lelaki. Aku menghampirinya. Memandang dari kejauhan, namun cukup bisa untuk mendengar perbincangan mereka. Aku menjaga jarak, agar mereka tak merasakan kehadiranku. “Laki-laki itu, lelaki yang sama 4 bulan yang lalu. Mungkin dia mantan kekasihnya,” pikirku.
“Nes, tolong tatap mataku sebentar aja,” pinta lelaki disampingnya. Perlahan tangannya menggenggam erat kedua tangan gadis itu. Gadis itu terlihat luluh. “Nes, aku khilaf. Aku menyesal telah meninggalkanmu demi Vania. Nyatanya dia bukan wanita yang baik.” Lelaki itu menghela nafas. Gadis itu hanya mampu membisu ditempatnya.
“Nes, lihat aku,” pintanya lagi.
“Apa lagi, Joe?” kata gadis mungil itu. Menatapnya nanar.
Tiba-tiba saja tanganku mengepal erat. Kurasakan uratku menonjol keluar. Ada perasaan yang begitu menyesakkan dada.
“Tolong, kembalilah padaku, Nes. Beri aku kesempatan sekali lagi,” kata lelaki itu.
Gadis itu terdiam lama. Aku seperti kehilangan kendali. Tiba-tiba saja tubuhku terasa panas. Aku mengeratkan gigi, menahan amarah. Mungkinkah aku cemburu? Aku ingin menghampiri mereka, memukuli wajah lelaki itu. Siapa aku? Aku tidak bisa melakukan semauku. “Jangan, Nessa, jangan,” pintaku dalam hati. Wajahku merah padam, menahan gejolak yang tak menentu. Aku pergi dari sana, tak ingin mendengar jawaban gadis itu.
***
Aku membuka pesan, dari Joe. Aku membacanya. Rasa enggan menghampiri. Untuk apalagi dia ingin menemuiku? Tak cukupkah dengan menyakitiku dan meninggalkanku begitu saja?
Namun hati kecilku berkata lain. Baru sekitar empat bulan aku berpisah dengan Joe. Rasa sayang itu masih tersisa walaupun hanya setipis jarum jahit. Aku ingin menemuinya, ada sesuatu yang ingin kukatakan juga padanya.
Aku menunggu Joe di taman, tepat dimana saat ia memutuskan hubungannya denganku dan meninggalkanku seorang diri dibawah naungan hujan. Dari kejauhan sesosok lelaki menghampiri, perawakan yang tinggi sudah cukup menjelaskan bahwa Joe yang menghampiriku.
“Hai, Nes,” sapanya sambil mengulum senyum.
Aku hanya tersenyum kaku kearahnya. Rasanya tak percaya, dia masih se-percaya diri itu menemui aku.
“Kamu gak ada acara kan?”
“Hmm, enggak. Memangnya kenapa?”
“Gapapa, aku hanya ingin berbicara lebih lama bersamamu.”
“Oh gitu,” jawabku asal.
Hening. Tidak ada yang membuka suara sedikitpun.
“Kenapa, Joe?” tanyaku memecahkan keheningan.
“Nes, aku sayang banget sama kamu.”
Aku mengalihkan pandanganku kearah lain. Kaget, reaksi pertama yang bisa kuberikan atas pernyataan Joshua. Bagaimana bisa?
 “Nes, tolong tatap mataku sebentar aja,” pinta Joe kepadaku. Perlahan tangannya menggenggam erat kedua tanganku. Aku tak menolaknya, aku gamang. “Nes, aku khilaf. Aku menyesal telah meninggalkanmu demi Vania. Nyatanya dia bukan wanita yang baik.” Joe menghela nafas panjang. Namun aku hanya mampu membisu ditempatku.
“Nes, lihat aku,” pintanya lagi.
“Apa lagi, Joe?” kataku, menatapnya nanar.
Aku tidak mendengarkan apa yang dibicarakan Joshua, tiba-tiba saja aku merasakan kehadiran pria itu. Pria pasar yang telah begitu banyak mencampuri perasaanku. Dibalik pohon yang tak jauh dari tempatku bersama Joshua, kulihat punggung seorang lelaki menjauh. “Mungkinkah itu kamu, Randu?” tanyaku dalam hati.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku ingin menyusul lelaki itu, mungkin saja itu benar Randu. Namun genggaman tangan Joe menahan langkahku.
“Kamu mau kemana, Nes?”
“Aku mau pergi. Maaf,”
“Tapi Nes—“
Aku berlalu, mengejar lelaki itu. Aku mempercepat langkah. Aku mengedarkan seluruh pandanganku ke penjuru taman. Namun tak sedikitpun aku menemuimu. Mungkin kau sudah berlalu pergi. “Apa kau melihat semuanya, Randu?” tanyaku dalam hati. Tiba-tiba sebulir air mataku terjatuh.
***
(Randu P.OV)
Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan. Bukankah laki-laki itu sudah menyakiti terlalu dalam? Tapi untuk apa kau menemuinya lagi? Laki-laki tidak bertanggung jawab itu tidak pantas untuk melindungimu. Kau seharusnya tidak menemuinya. Tidak, Nessa.
.
.
Aku berlari semampu yang bisa kulakukan. Meninggalkan Nessa bersama mantan kekasihnya. Mungkin saja mereka berniat untuk merajut tali kasih kembali. Untuk apa aku mecampuri urusan mereka?
Sesampai di rumah, aku membuang nafas dengan kasar. Tiba-tiba ada seorang gadis menghampiri. Ia berlari kearahku.
“Randu,” rengeknya. Dalam sekejap, ia memelukku dengan erat. Merekatkan lingkaran tangannya dengan protektif. Ada luka yang kudengar dari nada suara paraunya.
“Kamu kenapa?”
“Jangan tinggalin aku, Randu, jangan. Jangan untuk sekarang,” pintanya padaku. Ia menangis sejadi-jadinya. Masih tetap memelukku erat.
***

To Be Continue

Selanjutnya-- 

0 komentar:

Posting Komentar