Sebelumnya--
Sore itu aku ada di taman, bersama seseorang yang
pernah menolongku di taman ini. Pria pasar itu entah sejak kapan, mulai
mengobati rasa sakit hatiku. Selalu ada senyum yang terukir ketika berada
didekatnya.
“Aku boleh ngomong sesuatu?” tanya Randu tiba-tiba.
“Boleh, apa?” kataku penasaran.
Randu diam. Menit demi menit melesat, tak ada yang
mampu bersuara. Hanya suara angin dan kicauan burung di taman yang mulai
menyusup dalam telingaku. Aku menunggunya untuk bertanya suatu hal padaku.
“Hei, apa?” aku mengulangi perkataanku, menepuk
bahunya.
“Kamu lebih terlihat cantik kalau sedang tersenyum.
Manis sekali. Aku menyukainya,” ucapnya. Diksi yang tepat dengan pelafalan yang
pas.
Aku terpana. Kemudian kutatap lekat-lekat kedua
matanya. Tak satu pun kutemukan alasan yang pasti ketika ia mengucapkan hal itu.
Juga tidak ada bualan yang ingin ia lakukan. Kulihat itu hanyalah sebuah
ungkapan yang tak sengaja ia ucapkan. Matanya tersorot tajam, menatap balik
kedua mataku.
Aku sangat gugup. Jantungku dagdigdug tak beraturan.
Rasanya nadiku berhenti berdetak. Aku tidak tahu, perasaan macam apa ini.
Bahagia tidak jelas. Benar-benar absurd. Aku mengalihkan padanganku kearah
lain. Aku tidak ingin terlihat gugup dihadapannya. “Apa-apaan aku ini, tidak
mungkin aku menaruh hati pada pria pasar macam dia,” batinku.
“Hm, aku pulang dulu ya. Udah sore takut dicariin
Mama,” pamitku padanya.
Aku meninggalkannya sendirian duduk di bangku taman. Perasaanku
kacau, tak karuan. Aku meluncur menuju rumah.
***
“Kak,” panggil Daffa disela-sela aku membaca novel.
“Kenapa, Daffa?”
“Aku penasaran deh sama kak Randu,” katanya kemudian.
“Loh, ngapain kamu tiba-tiba nanyain dia?” Aku sedikit
kaget dengan apa yang dikatakan oleh Daffa padaku.
“Ya gapapa sih, besok kalo ke pasar lagi sama Mama,
aku ikut ya kak?” pintanya.
“Hmm, gimana ya,” kataku menimbang-nimbang.
“Ayolah, kak, please,”
ucapnya sambil memohon-mohon.
“Iya, jelek.”
“Horeee! Makasih kak Nessa,” kata Daffa lalu mencium
pipi kananku.
Keesokan harinya, Mama mengajakku kepasar, lagi. Kali
ini aku tidak pergi berdua, tapi pergi bersama Daffa juga. Bocah kecil itu
memang selalu merepotkan. Aku membonceng Mama dan Daffa ke pasar.
“Waaahh, pasarnya rame banget, Ma,” ucap Daffa
terkagum-kagum.
“Ya iyalah pasar dimana-mana rame, mana ada pasar yang
sepi,” celetukku.
“Huss Nessa, kamu bukannya ngomong yang bener sama
adik kamu,” tegur Mama padaku.
“Iya, Ma, maaf,” kataku menyesal.
Hari libur itu benar-benar membosankan. Lagi-lagi
kepasar. Kulihat Daffa terlihat gembira berada di pasar, seperti menemukan
tempat baru untuk menjadi bahan penelitian mainannya. Ia merengek pada Mama
untuk membeli mainan. Setelah menututi kemauan Daffa, Mama langsung bergegas ke
tukang bumbu jadi seperti biasa.
“Ma, ini tempat kak Randu jualan?” tanya Daffa dengan
polosnya.
Sebelum Mama menjawab, datanglah Randu dari arah
timur, membawa sekarung kelapa. Lengannya yang kekar hingga beberapa uratnya
Nampak terlihat jelas. “Ya Tuhan, dia ganteng banget,” batinku. Aku melamun.
Lalu aku menyadarkan lamunanku sendiri, “apa-apaan aku ini,” ucapku dalam hati.
“Iya itu kak Randu, Daffa,” jawab Mama.
“Kak Randu,” panggil Daffa setengah berteriak ketika
Randu mulai menghampiri.
Perasaan itu muncul lagi, seiring dengan langkah
kakinya yang mendekat. Bukan untukku dia menghampiri, tapi pada Daffa. Aku
menghela nafas panjang.
“Eh, kamu adiknya Nessa kan?” tanya Randu dengan
sangat ramah.
“Iya, kak, kenalin dong aku Daffa.”
Randu tersenyum. Ia terlihat begitu menyukai Daffa.
Pagi itu serasa sangat panjang, dan semenjak saat itu mulutku terasa terkunci
rapat-rapat.
Aku hanya mampu menatapnya dengan tatapan sinis. Entah
mengapa pujiannya kemarin benar-benar membuatku salah tingkah sekaligus sebal.
Buat
apa juga dia mengatakan hal itu? Dia baru saja mengenalku. Dasar tidak sopan! –pikirku.
***
Setelah berbulan-bulan aku menyandang status seorang
diri –tanpa seorang kekasih, aku mulai merasakan benar-benar sendirian. Tidak
ada canda tawa bersama seseorang yang special,
tidak ada perhatian yang lebih. Ya, seperti yang sudah-sudah, aku hanya mampu
menyelami alam bawah sadarku. Berfantasi seandainya jika aku mempunyai seorang
kekasih.
Tiba-tiba saja, wajah pria itu muncul, berkelebatan di
otakku.
“Apa yang aku pikirkan?” batinku. Aku menghembuskan
nafas kasar. Mencoba untuk menghilangkan wajah itu dari fantasiku. Aku sudah
tidak ingin mengingatnya lagi. “Toh dia cuma pria pasar kumuh yang kebetulan
menolongku ketika aku putus dari Joe. Tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan,”
ucapku dalam hati. Meyakini diriku sendiri.
Ada perasaan yang terasa teringkari. Perasaanku
tiba-tiba gelisah. Entah apa yang terasa kini. Tidak dapat kupungkiri, lelaki
itu benar-benar sudah menguasai pikiranku sepenuhnya. Mungkin aku menyukainya,
mungkin aku mengaguminya atau lebih parahnya aku mungkin mencintainya.
“TIDAK!!!” Aku segera menghapus pikiran itu.
Aku memandangi langit yang mulai merona kemerahan.
Senja itu datang sempurna. Menenggelamkan segala kenangan dalam kebisuan. Sedetik
sebelum senja itu benar-benar tenggelam, tanganku sekelebat saling menggenggam,
aku menutup mata. “Jika dia mencintaiku, senja, jadikan ia yang terindah dan
semoga tidak ada rasa sakit dari lelaki yang membuatku nyaman itu,” ucapku
pelan. Aku menghela nafas. Senja bergeser menjadi petang. Aku masuk kedalam
kamar, meninggalkan harapan konyol yang baru saja kupanjatkan.
Aku berbaring di tempat tidurku. Memandangi miniature
hello kitty yang memenuhi ruang di kamarku. Tiba-tiba saja handphone-ku bordering. Tanda pesan masuk.
Bisakah
aku berbicara denganmu, Nessa? Ada hal yang ingin aku katakana padamu.
Joshua.
Pukul 19.30
***
(Randu P.OV)
Tidak tahu harus bagaimana kumulai. Sejak awal aku
bertemu dengannya, tiba-tiba saja perasaanku bergemuruh. Waktu itu aku baru
saja datang ke pasar, ibu menyuruhku datang ke pasar untuk membantunya.
Aku hanya seorang pelajar kelas 3 SMA. Ibuku berdagang
di pasar untuk membiayai keluarga. Ayahku entah dimana keberadaannya. Ia pergi
begitu saja meninggalkan keluarganya. Tanpa kabar, tanpa memberi nafkah
sedikitpun hingga detik ini. Sebelumnya, aku tidak perlu bersusah payah untuk pergi
ke pasar membantu ibu. Ibu pun tidak usah berdagang seperti ini untuk
membiayaiku sekolah. Dulu aku dan keluargaku berkecukupan. Hingga pada suatu
saat ayah meninggalkanku dan ibu. Baru aku tahu ternyata ayah memiliki wanita
lain. Dan kini aku sudah melupakannya.
.
.
Aku mempercepat langkahku untuk menghampiri ibu, namun
tiba-tiba ada seseorang yang menyenggolku, membuatku kehilangan keseimbangan.
Tanpa sadar aku menabrak seorang wanita tak jauh dari tempat aku kehilangan
keseimbangan. Gadis itu terjatuh. Lalu menyalahkanku.
Sejak kejadian itu entah mengapa pusat pikiranku
selalu mengarah hanya kepadanya. Gadis mungil itu memancarkan binar matanya
yang bercahaya. Perasaan yang bergemuruh itu, langsung saja membuat dadaku
berdegup kencang. “Aku tidak akan melupakanmu. Tidak untuk sekarang,” ucapku
dalam hati.
Sejak awal kejadian itu dan pertemuanku yang begitu
kebetulan dengannya. Membuatku sering menjatuhkan pandanganku kearahnya. Pertemuan
pertama yang mungkin membuatnya menyebalkan, pertemuan selanjutnya yang menyedihkan
hatinya.
Sudah hampir 4 bulan aku mengaguminya. Bukan sekedar
mengagumi, mungkin saja perlahan hatiku bergerak untuk mencintainya. Entahlah.
Sore ini aku pergi ke taman untuk jogging. Udaranya dengan lembut menyapu wajahku. Aku menghirup
dengan dalam. Aku berkeliling taman. Aku teringat pada taman ini, tempat dimana
gadis mungil itu menangis sesenggukan. Tempat dimana aku dapat merasakan
tubuhnya yang mungil dapat kurengkuh dengan pelukanku.
Aku berjalan ringan menghampiri tempat itu –tempat aku
bertemu denganmu. Sayup-sayup kudengar suara seorang gadis berbicara. Suaranya sangat
kukenali. Kamu.
“Kenapa, Joe?” ucap gadis itu.
Aku melihatnya bersama seorang lelaki. Aku menghampirinya.
Memandang dari kejauhan, namun cukup bisa untuk mendengar perbincangan mereka. Aku
menjaga jarak, agar mereka tak merasakan kehadiranku. “Laki-laki itu, lelaki
yang sama 4 bulan yang lalu. Mungkin dia mantan kekasihnya,” pikirku.
“Nes, tolong tatap mataku sebentar aja,” pinta lelaki
disampingnya. Perlahan tangannya menggenggam erat kedua tangan gadis itu. Gadis
itu terlihat luluh. “Nes, aku khilaf. Aku menyesal telah meninggalkanmu demi
Vania. Nyatanya dia bukan wanita yang baik.” Lelaki itu menghela nafas. Gadis
itu hanya mampu membisu ditempatnya.
“Nes, lihat aku,” pintanya lagi.
“Apa lagi, Joe?” kata gadis mungil itu. Menatapnya nanar.
Tiba-tiba saja tanganku mengepal erat. Kurasakan uratku
menonjol keluar. Ada perasaan yang begitu menyesakkan dada.
“Tolong, kembalilah padaku, Nes. Beri aku kesempatan
sekali lagi,” kata lelaki itu.
Gadis itu terdiam lama. Aku seperti kehilangan
kendali. Tiba-tiba saja tubuhku terasa panas. Aku mengeratkan gigi, menahan
amarah. Mungkinkah aku cemburu? Aku ingin menghampiri mereka, memukuli wajah
lelaki itu. Siapa aku? Aku tidak bisa melakukan semauku. “Jangan, Nessa,
jangan,” pintaku dalam hati. Wajahku merah padam, menahan gejolak yang tak
menentu. Aku pergi dari sana, tak ingin mendengar jawaban gadis itu.
***
Aku membuka pesan, dari Joe. Aku membacanya. Rasa enggan
menghampiri. Untuk apalagi dia ingin menemuiku? Tak cukupkah dengan menyakitiku
dan meninggalkanku begitu saja?
Namun hati kecilku berkata lain. Baru sekitar empat
bulan aku berpisah dengan Joe. Rasa sayang itu masih tersisa walaupun hanya
setipis jarum jahit. Aku ingin menemuinya, ada sesuatu yang ingin kukatakan
juga padanya.
Aku menunggu Joe di taman, tepat dimana saat ia
memutuskan hubungannya denganku dan meninggalkanku seorang diri dibawah naungan
hujan. Dari kejauhan sesosok lelaki menghampiri, perawakan yang tinggi sudah
cukup menjelaskan bahwa Joe yang menghampiriku.
“Hai, Nes,” sapanya sambil mengulum senyum.
Aku hanya tersenyum kaku kearahnya. Rasanya tak percaya,
dia masih se-percaya diri itu menemui aku.
“Kamu gak ada acara kan?”
“Hmm, enggak. Memangnya kenapa?”
“Gapapa, aku hanya ingin berbicara lebih lama
bersamamu.”
“Oh gitu,” jawabku asal.
Hening. Tidak ada yang membuka suara sedikitpun.
“Kenapa, Joe?” tanyaku memecahkan keheningan.
“Nes, aku sayang banget sama kamu.”
Aku mengalihkan pandanganku kearah lain. Kaget, reaksi
pertama yang bisa kuberikan atas pernyataan Joshua. Bagaimana bisa?
“Nes, tolong
tatap mataku sebentar aja,” pinta Joe kepadaku. Perlahan tangannya menggenggam
erat kedua tanganku. Aku tak menolaknya, aku gamang. “Nes, aku khilaf. Aku menyesal
telah meninggalkanmu demi Vania. Nyatanya dia bukan wanita yang baik.” Joe
menghela nafas panjang. Namun aku hanya mampu membisu ditempatku.
“Nes, lihat aku,” pintanya lagi.
“Apa lagi, Joe?” kataku, menatapnya nanar.
Aku tidak mendengarkan apa yang dibicarakan Joshua,
tiba-tiba saja aku merasakan kehadiran pria itu. Pria pasar yang telah begitu
banyak mencampuri perasaanku. Dibalik pohon yang tak jauh dari tempatku bersama
Joshua, kulihat punggung seorang lelaki menjauh. “Mungkinkah itu kamu, Randu?”
tanyaku dalam hati.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku ingin menyusul
lelaki itu, mungkin saja itu benar Randu. Namun genggaman tangan Joe menahan
langkahku.
“Kamu mau kemana, Nes?”
“Aku mau pergi. Maaf,”
“Tapi Nes—“
Aku berlalu, mengejar lelaki itu. Aku mempercepat
langkah. Aku mengedarkan seluruh pandanganku ke penjuru taman. Namun tak
sedikitpun aku menemuimu. Mungkin kau sudah berlalu pergi. “Apa kau melihat
semuanya, Randu?” tanyaku dalam hati. Tiba-tiba sebulir air mataku terjatuh.
***
(Randu P.OV)
Aku tidak
mengerti apa yang kau pikirkan. Bukankah laki-laki itu sudah menyakiti terlalu
dalam? Tapi untuk apa kau menemuinya lagi? Laki-laki tidak bertanggung jawab
itu tidak pantas untuk melindungimu. Kau seharusnya tidak menemuinya. Tidak, Nessa.
.
.
Aku berlari semampu yang bisa kulakukan. Meninggalkan Nessa
bersama mantan kekasihnya. Mungkin saja mereka berniat untuk merajut tali kasih
kembali. Untuk apa aku mecampuri urusan mereka?
Sesampai di rumah, aku membuang nafas dengan kasar. Tiba-tiba
ada seorang gadis menghampiri. Ia berlari kearahku.
“Randu,” rengeknya. Dalam sekejap, ia memelukku dengan
erat. Merekatkan lingkaran tangannya dengan protektif. Ada luka yang kudengar
dari nada suara paraunya.
“Kamu kenapa?”
“Jangan tinggalin aku, Randu, jangan. Jangan untuk
sekarang,” pintanya padaku. Ia menangis sejadi-jadinya. Masih tetap memelukku
erat.
***
0 komentar:
Posting Komentar