Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs
Bukan sesuatu yang istimewa, hanya rangkaian kata sederhana
Minggu, 13 Oktober 2013

Pria Pasar Tradisional II

Sebelumnya--


Akhirnya aku keluar dari tempat terkutuk itu. Kulajukan motorku dengan kencang. Tiba-tiba semilir angin menghampiri siku tanganku. Nyeri. Aku tak berhenti meringis. Ada perasaan yang begitu ngilu masuk dalam tubuhku.
Sesampai di rumah, aku buru-buru masuk kedalam kamar. Aku menangis sejadi-jadinya, membuka jaketku. Kulihat ada segores luka yang bersemayam di siku kiriku. Rasanya perih sekali. Aku mengambil alkohol, lalu kuoleskan pada luka. Mama muncul dari balik pintu kamarku.
“Kamu gak apa-apa, Nes?” tanya Mama khawatir.
Aku cemberut. Aku kesal, tapi aku tidak bisa menyalahkan Mama atas insiden ini. “Gak apa-apa, Ma,” jawabku pasrah.
“Maaf ya, Nes, gara-gara Mama ajak ke pasar kamu jadi luka kaya gini,” suara Mama  terdengar menyesal. “Tapi Mama harap kamu gak kapok untuk nganter Mama ke pasar lagi,” lanjut Mama.
“Ya asalkan gak ada insiden kaya tadi aja,” jawabku singkat.
“Iya, Nes,” kata Mama.
***
Handphone-ku terus saja berteriak, meronta untuk diangkat. Aku benci situasi seperti ini. Tanda panggilan masuk darimu, membuatku ingin membantingkan handphone-ku sendiri. Aku membiarkannya bordering. Kali ini sudah panggilan kesepuluh, lama-lama aku tidak tahan juga. Aku mengangkat teleponnya.
“Hallo, Nessa, kamu dari mana aja sih?” tanya seseorang diujung sebrang sana.
“Aku abis dari pasar, Joe, nganter Mama,” jawabku malas.
“Kenapa telepon aku gak diangkat? Kenapa sms aku gak dibales? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu mau anter Mama kamu?”
Pertanyaan bertubi-tubi itu benar-benar menjengahkan otakku. “Harus aku jawab semua pertanyaan kamu?”
“Harus dong, Nes, kamu itu pacar aku, Nes. Aku berhak tau…”
*piipp* aku mematikan telepon. Aku sangat tidak ingin berselisih lagi. Aku butuh ketenangang, juga kenyamanan.
***
“Apa yang harus kulakukan? Aku ingin mengakhiri semuanya. Aku hanya ingin sebuah kasih sayang dan pengertian dari seorang laki-laki. Salahkah aku?” ucapanku menggantung diatas langit.
Aku memandangi langit yang begitu cantiknya di teras atas. Bintang yang berkelip. Bulan yang pamer cahaya. Semuanya begitu bisa menenangkan perasaan gundahku. Aku tidak mengerti, apa yang tengah terjadi padaku akhir-akhir ini. Rasanya beban yang kupikul semakin berat. Lelaki yang pernah kucintai, lelaki yang kini menjadi kekasihku, bukan lagi lelaki yang kukenali. Semuanya berubah. “Apa yang membuatmu begitu menjengkelkan, sayang?” ucap batinku.
“Auu,” aku meringis lagi. Luka yang tadi begitu nyeri. Aku jadi teringat pada sosok yang menabrakku tadi pagi. “Laki-laki ceroboh macam apa dia? Sampai membuatku luka seperti ini?” pikiranku menerawang. “Kalau ketemu, gue hajar tuh cowok!” kataku menggebu-gebu.
“Nessa,” Mama berteriak dari bawah.
“Iya, Ma.”
“Ini makan malemnya udah siap. Sini kamu turun, makan dulu,Nes.”
“Iya, Ma, sebentar yaa.”
Aku turun kebawah, menghampiri meja makan. Kupandangi meja makan yang penuh dengan makanan. Surga makanan. Mama memang selalu tahu apa yang ingin kumakan. Aku menyantap makanan penuh dengan kenikmatan.
“Kak Nessa bagi dong ayam bakarnya, dimakan sendirian aja nih,” protes Daffa padaku.
“Apa sih, Dek, ini punya gue tau.”
“Aaaaa kak Nessa aku juga mau.”
Aku berdiri, dan mulai berlari kearah kamar. “Ayo kejar gue kalo mau. Sini sini sini,” ledekku pada Daffa, lalu menjulurkan lidah.
“Kak Nessa,” teriak Daffa. Kulihat dia mulai mengejarku, namun aku terlanjur masuk kedalam kamar. Aku menguncinya rapat-rapat.
“Nessa, kamu ini bener-bener ya. Suka banget ngeledek adenya. Liat nih Daffa jadi nangis,” teriak Mama.
“Hehe maaf, Ma, abis Daffa nyebelin sih,” kataku setengah berteriak menyauti Mama.
Aku merebahkan diri di kasur. Memandangi langit-langit kamar yang mulai usang. Aku melirik kearah jam, sudah menunjukkan pukul 9 malam. “Hei, dimana handphone-ku?” ucapku dalam hati. Aku meraih handphone di atas meja rias. Sudah berapa jam aku tidak menggenggam handphone-ku?
Aku mengaktifkan handphone-ku. Baru kusadar kalau tadi pagi aku sempat ribut dengan Joshua. Hingga tak sadar aku menon-aktifkan handphone-ku sendiri. Setelah handphone-ku aktif, banyak sekali pesan masuk. Dan pesan-pesan itu tentu saja dari kamu, Joshua.
----
Kenapa telepon dari aku dimatiin sih, Nes? – pukul 10:00
Kamu kemana? Kok handphone kamu mati? – pukul 13.47
Nessa, ada hal yang mau aku bicarain sama kamu. Besok pulang sekolah kamu pulang sama aku. Aku mau ajak kamu buat bicarain hal penting. Gak perlu dibales, Nes. Makasih. Good Night Nessa Santika. – pukul 15:18
***
Pelajaran di sekolah memang selalu membosankan mata. Rasanya ingin cepat-cepat lulus dari sekolah yang menyebalkan ini. Aku sudah tidak berminat untuk sekolah. 8 jam di sekolah benar-benar membuatku muak.
Akhirnya bel tanda pulang pun berdering. Aku bergegas untuk pulang. Ketika baru sampai di depan kelas, tiba-tiba Joshua muncul disana.
“Nes, ayo ikut aku,” kata Joshua.
“Mau kemana kita, Joe?” tanyaku padanya.
“Yaudah kamu ikut aja. Cepet,” kata Joe. Tangannya menggenggam tanganku dengan erat lalu sedikit menarik dengan paksa. Sakit.
Di Parkiran, tak ada satu pun yang bersuara diantara aku ataupun dia. Hanya suara bising anak-anak kelas yang menyembul keluar dari sekolah. Aku tidak tahu kemana Joshua akan membawaku, aku menurutinya. Sore itu agak mendung, sepertinya mau hujan. Tapi aku tidak bisa menolak keinginan Joshua.
Motor yang dikendarai Joshua mengarah ke taman yang tak jauh dari sekolah, tapi cukup jauh dari arah rumahku. Joshua memarkirkan motornya di halaman taman yang memang khusus untuk parkir motor. Aku turun dari motor. Joshua menarik tanganku lagi. Kita duduk di bangku taman.
“Ada apa, Jo, kamu ngajak aku kesini?”
“Ada apa? Kamu pikir kenapa aku ngajak kamu kesini?” nada bicara Joshua sudah terlihat sangat asing.
“Aku gak tau,” jawabku lemah.
“Kemana kamu waktu kemaren aku ngehubungin kamu? Kenapa handphone kamu mati?”
“Aku capek, Joe. Kenapa sih kamu harus marah-marah?”
“Kamu udah ngecewain aku, Nes. Acaraku kemaren berantakan gara-gara kamu.”
“Aku kesel sama kamu, Joe!” kataku setengah berteriak.
“Kesel kenapa? Apa yang terjadi sama kamu?” tanya Joshua bertubi-tubi.
“Aku kenapa? Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa. Sifat kamu berubah. Sikap kamu sekarang lebih kasar sama aku, Joe.”
“Oh itu,” jawaban Joshua menggantung. Aku diam.
“Ada apa, Joe?”
“Gimana aku gak marah, Nes. Acara aku kemaren berantakan gara-gara kamu. Untung ada Vania yang ngebantu aku.”
“Vania? Kenapa dia sama kamu?”
“Hmm,” Joshua berdeham. Hening.
“Joe,” panggilku.
“Aku kemaren pergi sama Vania. Aku udah bosen sama kamu, Nes. Jujur aja, sebulan terakhir ini aku menjalin hubungan dengan teman sekelas kamu, Vania,” jelas Joshua.
Aku terdiam. Penjelasan itu bertubi-tubi memukul batinku. Aku tidak tahu harus beraksi seperti apa. “Kamu? Jadian sama Vania?” suaraku melemah. Tak percaya dengan apa yang barusan dibicarakan oleh Joshua.
“Iya. Setelah aku pikirin, hubungan setahun ini gak bisa bertahan lama. Aku akui, aku salah. Tapi aku udah gak bisa menjalin hubungan sama kamu, Nes.”
“Apa itu artinya, kita.. putus?” suaraku semakin tercekat.
“Iya, maafin aku ya, Nes. Makasih buat satu tahun yang udah kamu kasih ke aku.”
Aku terdiam. Aku tidak menyangka akan sesakit ini. Joshua meninggalkanku sendirian, ia berjalan kearah parkiran. Motornya melaju kencang, meninggalkan aku sendirian di taman dan meninggalkan luka yang amat pedih.
Mataku berkaca-kaca. “Gue gak boleh nangis,” ucapku dalam hati. Namun apa daya, rasa sakit itu sudah menjalar masuk dalam hati. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar. Cuaca di atas sana benar-benar mendukung suasana hatiku. Mendung.
Aku meneteskan air mata. Setetes demi setetes, hingga aku sudah tidak sanggup untuk membendungnya lagi. Tangisku memecah di taman itu.
.
.
Kamu jahat banget, Joe. Kenapa kamu mengkhianati aku? Padahal aku selalu berusaha untuk tetap menjaga perasaan ini padamu. Hubungan yang telah lama kita jalin, kini kandas hanya karena kau mempunyai hubungan dengan Vania. Kenapa kamu jahat, Joe? Kenapa? Padahal aku sayang banget sama kamu. Kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini?
--
Air mataku bercucuran. Aku hanya mampu berdialog dengan diriku sendiri didalam hati. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana. Aku masih terduduk di bangku taman. Masih sesenggukan, hingga aku tak sadar, disebelahku telah duduk seorang pria. Aku kaget. Aku berusaha menyeka air mataku.
“Ini, pakai ini aja. Biar mata kamu gak lecet,” kata seorang asing sambil mengulurkan sapu tangan kearahku.
Aku meraihnya. “Ter.. terimakasih,” ucapku terbata-bata.
“Kamu kenapa?”
Aku tidak menjawab. Rasa sakit itu tiba-tiba masuk lagi kedalam perasaanku. Aku menangis lagi. Rasa tak percaya memukul batinku. Pengkhianatan itu benar-benar menyayat hatiku. Selaras dengan tangisku, tiba-tiba hujan turun deras. Aku masih menangis. Lelaki asing itu membuka jaketnya, memakaikannya ditubuhku. Dia melindungiku dari hujan.


To Be Continue

Selanjutnya-- 

0 komentar:

Posting Komentar