Setiap
minggu memang selalu ramai, tak pernah sepi dan tak ada yang rela melewatkan
hari minggu. Weekend yang pastinya
dinikmati oleh berbagai kalangan setelah seminggu berkerja, belajar dan banyak
kegiatan lain yang begitu membosankan. Banyak orang yang menghabiskan waktunya
untuk berjalan-jalan, beristirahat, pergi ke pantai, menonton dan kegiatan lain
yang disukai masing-masing individu.
.
.
.
Mentari
berada di puncaknya, memancarkan sinarnya dengan terik. Cahayanya begitu
menyilaukan, Aku terbangun. Ketika kulirik arah dinding, jam sudah menunjukkan
pukul setengah 7. “Ya Tuhan Aku kesiangan,” kataku dalam hati.
Aku
buru-buru menopang tubuhku untuk segera bangun, lalu bergegas ke kamar mandi. Setelahnya
Aku langsung menuju ruang keluarga, tampak Mama dan Adikku tengah menonton
televisi.
“Perawan
bangun siang nih,” sindir Mama.
“Hehe
kan liburan, Ma,” kataku cengengesan.
“Emang
bangun siang terus kalau gak dibangunin mah,” celetuk Adikku.
“Yeee
terserah dong udah gede ini!” ucapku sambil menjulurkan lidah padanya.
Aku
tak ingin meladeni Adikku lagi, karena aku yakin tidak akan pernah selesai. Tanganku
mulai memainkan handphone yang sejak
tadi sudah kugenggam, aku menghela nafas ketika mendapati handphone-ku bergetar tanda sms masuk. Kulihat lampu LED berwarna
biru, itu pasti dari kamu. Iya, kamu.
“Kamu
kemana aja sih kok dihubungi dari tadi gak bisa?” katanya lewat pesan singkat
itu.
“Aku
baru bangun,” balasku.
“Jam
segini baru bangun? Kamu tau gak sih dari tadi itu aku nungguin kamu.”
“Kenapa
harus marah? Emang aku yang mau bangun siang?!”
“Tapi
kamu itu harus bangun pagi, terus ngelakuin ini itu. Terus nanti siang juga
kamu harus nemenin aku. Gimana acara aku kalau sampe nanti siang kamu gak
bangun?!!”
Aku
tahu dia mulai marah dan aku mulai tak suka perbincangan ini. Akhirnya aku
membalas pesan singkatnya untuk terakhir kali dan untuk mengakhiri perdebatan
ini. “Yaudah terserah kamu deh ya, aku capek. Nanti aku gak bisa, aku mau di
rumah seharian. Bye.”
Aku
menghempaskan tubuhku diatas sofa yang empuk, menghirup udara sedalam-dalamnya
dan membuang udara keluar sejadi-jadinya. Kualihkan pandangan pada Adikku,
kulihat Dia tengah asik dengan film kartunnya begitu pula dengan Mama.
“Kamu
kenapa, Nes?” tanya Mama mengagetkanku.
“Enggak.
Gak kenapa-kenapa kok, Ma.”
“Yaudah
kamu siap-siap sana, anter Mama ke pasar ya, ada yang mau Mama beli.”
“Harus
Aku ya, Ma?” tanyaku malas.
“Iya
dong, emang mau siapa lagi? Masa Mama harus ngajak Daffa sih.”
“Yaudah
deh, Ma, sebentar ya,” kataku.
Aku
bergegas ke kamar untuk berganti pakaian. Aku memilih jeans pendek selutut dengan kaos biru polos lalu kubalut lagi
dengan jaket, aku yakin udara pagi diluar masih lumayan dingin. Kupandangi
diriku depan cermin, mematut diri kemudian
memakaikan sedikit bedak bayi di wajahku. Mataku mulai beralih pada handphone yang kutaruh di meja rias. Handphone yang biasa menghubungkan
perasaanku dengan kekasihku, entah mengapa rasanya kini aku sudah mulai jenuh.
“Nes,
udah selesai belum?” Mama berteriak dari bawah, kebetulan memang kamarku berada
di lantai dua.
“Iya
udah kok, Ma, bentar,” jawabku setengah berteriak.
Aku
memastikan diriku sekali lagi didepan cermin, lalu melirik kearah meja. Aku
sengaja meninggalkan handphone-ku.
Setelahnya aku menghampiri Mama dan mengeluarkan motor kesayanganku.
***
Seperti dugaanku, aku seperti membeku selama
mengendarai motor. Kupercepat laju motor hingga sesampainya kuparkirkan motorku
disalah satu tempat pemarkiran motor. Hiruk-pikuk pasar yang dipadati banyak
orang membuat aku jengah. Baunya yang tidak karuan membuat aku muak. “Ma,
kenapa gak beli di supermarket aja sih? Jalannya liat becek banget ini,”
keluhku pada Mama.
“Belanja di pasar itu ngehemat uang bulanan belanja
Mama, Nes. Lagipula di pasar itu lebih lengkap daripada di supermarket.”
“Besok-besok aku gak mau kesini lagi deh, Ma.”
“Jangan gitu dong. Kan Cuma kamu yang bisa anter Mama.
Lama –kelamaan kamu kan juga akan jadi istri dan akan memperhitungkan semua
uang belanja kamu. Makanya Mama ajak kamu ke pasar biar kamu terbiasa.”
Aku diam. Tidak ada kata yang bisa kulontarkan untuk
melawan Mama. Apapun yang dikatakan Mama akan selalu terasa benar. Kuedarkan
pandanganku pada sekeliling pasar dengan terus membuntuti kemana pun Mama
pergi.
“Kamu kok diem sih, Nes? Gak mau masuk kedalem emang?”
“Aku tunggu di luar aja deh, Ma.”
“Bener nih?” tanya Mama memastikan.
“Iya, Ma,” sahutku.
“Yaudah kalo gitu. Nes, Mama mau beli bumbu jadi sama
kelapa parut dulu ya.”
“Dimana, Ma?”
“Itu gak jauh dari sini kok. Apa kamu mau ikut aja?”
“Hmm,” aku menimbang-nimbang. “Aku ikut aja deh, Ma,
aku gak mau nyasar di pasar yang kumuh kaya gini.”
“Yaudah, ayo cepet,” perintah Mama.
Oh
demi apapun, Tuhan, aku benci tempat terkutuk ini. Berdesak-desakan dengan
banyak orang, beberapa orang pedagang yang bajunya lusuh dan dipenuhi oleh
darah ayam dan sapi. Bau yang amis dari perpaduan ikan, suara yang bising. Aku
ingin keluar dari tempat ini.
Mama berjalan dengan santai, tidak sepertiku yang
merasa seperti manusia asing yang tak mengenal sedang dimana aku berada. Sampai
akhirnya Mama berhenti disalah satu tempat pedagang bumbu jadi.
“Kamu tau gak , Nes? Bumbu jadi disini tuh enak banget
tau. Itu ayam bakar yang sering Mama buatin buat kamu itu, bumbunya beli
disini. Itu makanan favorite kamu
kan?”
“Terus kenapa aku harus tahu kalo Mama beli bumbu
disini?”
“Ya siapa tahu aja kan kamu mau masak sendiri terus
kalo beli bumbunya mending disini, soalnya kayanya lidah kamu udah pas banget
sih sama bumbu ini.”
“Alah si Mama bisa aja. Ayam bakar yang enak kan
banyak, Ma. Dan gak semuanya beli bumbu disini.”
“Sebentar ya, Nes.”
“Iya, Ma.”
“Bang, bumbu ayam bakarnya ya 3000 cabenya dibanyakin
ya,” kata Mama pada pedagang tersebut.
Aku hanya bisa diam. Menunggu Mama selesai
bertransaksi dengan pedagang. Aku menoleh kearah barat, memperhatikan sekitar.
Desakan banyak orang disini membuat aku berkeringat. Aku berusaha menyeka
keringat yang berlumuran di dahiku, tiba-tiba seseorang menabrakku diantara
desakan banyak orang. Aku tiba bisa menyeimbangkan diriku sendiri, tanpa
kusadar aku terjatuh.
“Aduuhh,” aku meringis kesakitan.
“Maaf,” kata seseorang yang belum sempat kulihat
wajahnya.
“Ya ampun, Nes, kamu jatoh kenapa?”
“Aaaaa ini sakit tau, Ma, dia tuh yang udah nabrak
sembarangan,” kataku sambil menunjukkan seseorang yang baru saja minta maaf
itu.
“Maaf saya tidak sengaja tadi saya merasa terdorong
oleh orang lain.”
“Terus emangnya lo harus ngedorong, nabrak terus
jatohin gue juga apa?” kataku kesal sambil sesekali meringis.
Salah satu perempuan paruh baya menyembul dari balik
tempat dagangannya. Sepertinya tadi dia sedang sibuk melayani para pelanggan
sehingga baru menyadari sesuatu terjadi. “Randu, kamu kenapa ada disitu sih?”
“Ini, Bu, aku gak sengaja ngedorong dia sampe jatoh,”
jelas seseorang yang dipanggil Randu ini.
“Kamu tuh hati-hati dong. Aduh neng, maafin anak saya
ya dia gak sengaja.”
“Iya, gapapa kok, Bu. Anak saya emang lagi sensi aja,
biasalah penyakit cewek,” balas Mama dengan sedikit tertawa.
Aku tak sempat melihat mereka, seseorang yang telah
membuatku jatuh, juga ibunya. Yang ada diotakku hanyalah bagaimana aku bisa
keluar dari tempat menyebalkan seperti ini kemudian pulang kerumah.
“Ma, ayo kita pulang!” kataku dengan nada sedikit
sinis tanpa menoleh sedikitpun.
“Iya, sebentar dong Nessa,” kata mama yang masih berhadapat
dengan ibu penjual bumbu jadi itu. “Terimakasih ya, Bu. Maafin anak saya.”
“Iya tidak apa-apa, Bu. Saya juga minta maaf atas
kelakuan anak saya,” balasnya.
0 komentar:
Posting Komentar