Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs
Bukan sesuatu yang istimewa, hanya rangkaian kata sederhana
Kamis, 19 September 2013

Pria Pasar Tradisional



Setiap minggu memang selalu ramai, tak pernah sepi dan tak ada yang rela melewatkan hari minggu. Weekend yang pastinya dinikmati oleh berbagai kalangan setelah seminggu berkerja, belajar dan banyak kegiatan lain yang begitu membosankan. Banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan, beristirahat, pergi ke pantai, menonton dan kegiatan lain yang disukai masing-masing individu.
.
.
.
Mentari berada di puncaknya, memancarkan sinarnya dengan terik. Cahayanya begitu menyilaukan, Aku terbangun. Ketika kulirik arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul setengah 7. “Ya Tuhan Aku kesiangan,” kataku dalam hati.
Aku buru-buru menopang tubuhku untuk segera bangun, lalu bergegas ke kamar mandi. Setelahnya Aku langsung menuju ruang keluarga, tampak Mama dan Adikku tengah menonton televisi.
“Perawan bangun siang nih,” sindir Mama.
“Hehe kan liburan, Ma,” kataku cengengesan.
“Emang bangun siang terus kalau gak dibangunin mah,” celetuk Adikku.
“Yeee terserah dong udah gede ini!” ucapku sambil menjulurkan lidah padanya.
Aku tak ingin meladeni Adikku lagi, karena aku yakin tidak akan pernah selesai. Tanganku mulai memainkan handphone yang sejak tadi sudah kugenggam, aku menghela nafas ketika mendapati handphone-ku bergetar tanda sms masuk. Kulihat lampu LED berwarna biru, itu pasti dari kamu. Iya, kamu.
“Kamu kemana aja sih kok dihubungi dari tadi gak bisa?” katanya lewat pesan singkat itu.
“Aku baru bangun,” balasku.
“Jam segini baru bangun? Kamu tau gak sih dari tadi itu aku nungguin kamu.”
“Kenapa harus marah? Emang aku yang mau bangun siang?!”
“Tapi kamu itu harus bangun pagi, terus ngelakuin ini itu. Terus nanti siang juga kamu harus nemenin aku. Gimana acara aku kalau sampe nanti siang kamu gak bangun?!!”
Aku tahu dia mulai marah dan aku mulai tak suka perbincangan ini. Akhirnya aku membalas pesan singkatnya untuk terakhir kali dan untuk mengakhiri perdebatan ini. “Yaudah terserah kamu deh ya, aku capek. Nanti aku gak bisa, aku mau di rumah seharian. Bye.”
Aku menghempaskan tubuhku diatas sofa yang empuk, menghirup udara sedalam-dalamnya dan membuang udara keluar sejadi-jadinya. Kualihkan pandangan pada Adikku, kulihat Dia tengah asik dengan film kartunnya begitu pula dengan Mama.
“Kamu kenapa, Nes?” tanya Mama mengagetkanku.
“Enggak. Gak kenapa-kenapa kok, Ma.”
“Yaudah kamu siap-siap sana, anter Mama ke pasar ya, ada yang mau Mama beli.”
“Harus Aku ya, Ma?” tanyaku malas.
“Iya dong, emang mau siapa lagi? Masa Mama harus ngajak Daffa sih.”
“Yaudah deh, Ma, sebentar ya,” kataku.
Aku bergegas ke kamar untuk berganti pakaian. Aku memilih jeans pendek selutut dengan kaos biru polos lalu kubalut lagi dengan jaket, aku yakin udara pagi diluar masih lumayan dingin. Kupandangi diriku depan cermin, mematut diri kemudian memakaikan sedikit bedak bayi di wajahku. Mataku mulai beralih pada handphone yang kutaruh di meja rias. Handphone yang biasa menghubungkan perasaanku dengan kekasihku, entah mengapa rasanya kini aku sudah mulai jenuh.
“Nes, udah selesai belum?” Mama berteriak dari bawah, kebetulan memang kamarku berada di lantai dua.
“Iya udah kok, Ma, bentar,” jawabku setengah berteriak.
Aku memastikan diriku sekali lagi didepan cermin, lalu melirik kearah meja. Aku sengaja meninggalkan handphone-ku. Setelahnya aku menghampiri Mama dan mengeluarkan motor kesayanganku.
***
Seperti dugaanku, aku seperti membeku selama mengendarai motor. Kupercepat laju motor hingga sesampainya kuparkirkan motorku disalah satu tempat pemarkiran motor. Hiruk-pikuk pasar yang dipadati banyak orang membuat aku jengah. Baunya yang tidak karuan membuat aku muak. “Ma, kenapa gak beli di supermarket aja sih? Jalannya liat becek banget ini,” keluhku pada Mama.
“Belanja di pasar itu ngehemat uang bulanan belanja Mama, Nes. Lagipula di pasar itu lebih lengkap daripada di supermarket.”
“Besok-besok aku gak mau kesini lagi  deh, Ma.”
“Jangan gitu dong. Kan Cuma kamu yang bisa anter Mama. Lama –kelamaan kamu kan juga akan jadi istri dan akan memperhitungkan semua uang belanja kamu. Makanya Mama ajak kamu ke pasar biar kamu terbiasa.”
Aku diam. Tidak ada kata yang bisa kulontarkan untuk melawan Mama. Apapun yang dikatakan Mama akan selalu terasa benar. Kuedarkan pandanganku pada sekeliling pasar dengan terus membuntuti kemana pun Mama pergi.
“Kamu kok diem sih, Nes? Gak mau masuk kedalem emang?”
“Aku tunggu di luar aja deh, Ma.”
“Bener nih?” tanya Mama memastikan.
“Iya, Ma,” sahutku.
“Yaudah kalo gitu. Nes, Mama mau beli bumbu jadi sama kelapa parut dulu ya.”
“Dimana, Ma?”
“Itu gak jauh dari sini kok. Apa kamu mau ikut aja?”
“Hmm,” aku menimbang-nimbang. “Aku ikut aja deh, Ma, aku gak mau nyasar di pasar yang kumuh kaya gini.”
“Yaudah, ayo cepet,” perintah Mama.
Oh demi apapun, Tuhan, aku benci tempat terkutuk ini. Berdesak-desakan dengan banyak orang, beberapa orang pedagang yang bajunya lusuh dan dipenuhi oleh darah ayam dan sapi. Bau yang amis dari perpaduan ikan, suara yang bising. Aku ingin keluar dari tempat ini.
Mama berjalan dengan santai, tidak sepertiku yang merasa seperti manusia asing yang tak mengenal sedang dimana aku berada. Sampai akhirnya Mama berhenti disalah satu tempat pedagang bumbu jadi.
“Kamu tau gak , Nes? Bumbu jadi disini tuh enak banget tau. Itu ayam bakar yang sering Mama buatin buat kamu itu, bumbunya beli disini. Itu makanan favorite kamu kan?”
“Terus kenapa aku harus tahu kalo Mama beli bumbu disini?”
“Ya siapa tahu aja kan kamu mau masak sendiri terus kalo beli bumbunya mending disini, soalnya kayanya lidah kamu udah pas banget sih sama bumbu ini.”
“Alah si Mama bisa aja. Ayam bakar yang enak kan banyak, Ma. Dan gak semuanya beli bumbu disini.”
“Sebentar ya, Nes.”
“Iya, Ma.”
“Bang, bumbu ayam bakarnya ya 3000 cabenya dibanyakin ya,” kata Mama pada pedagang tersebut.
Aku hanya bisa diam. Menunggu Mama selesai bertransaksi dengan pedagang. Aku menoleh kearah barat, memperhatikan sekitar. Desakan banyak orang disini membuat aku berkeringat. Aku berusaha menyeka keringat yang berlumuran di dahiku, tiba-tiba seseorang menabrakku diantara desakan banyak orang. Aku tiba bisa menyeimbangkan diriku sendiri, tanpa kusadar aku terjatuh.
“Aduuhh,” aku meringis kesakitan.
“Maaf,” kata seseorang yang belum sempat kulihat wajahnya.
“Ya ampun, Nes, kamu jatoh kenapa?”
“Aaaaa ini sakit tau, Ma, dia tuh yang udah nabrak sembarangan,” kataku sambil menunjukkan seseorang yang baru saja minta maaf itu.
“Maaf saya tidak sengaja tadi saya merasa terdorong oleh orang lain.”
“Terus emangnya lo harus ngedorong, nabrak terus jatohin gue juga apa?” kataku kesal sambil sesekali meringis.
Salah satu perempuan paruh baya menyembul dari balik tempat dagangannya. Sepertinya tadi dia sedang sibuk melayani para pelanggan sehingga baru menyadari sesuatu terjadi. “Randu, kamu kenapa ada disitu sih?”
“Ini, Bu, aku gak sengaja ngedorong dia sampe jatoh,” jelas seseorang yang dipanggil Randu ini.
“Kamu tuh hati-hati dong. Aduh neng, maafin anak saya ya dia gak sengaja.”
“Iya, gapapa kok, Bu. Anak saya emang lagi sensi aja, biasalah penyakit cewek,” balas Mama dengan sedikit tertawa.
Aku tak sempat melihat mereka, seseorang yang telah membuatku jatuh, juga ibunya. Yang ada diotakku hanyalah bagaimana aku bisa keluar dari tempat menyebalkan seperti ini kemudian pulang kerumah.
“Ma, ayo kita pulang!” kataku dengan nada sedikit sinis tanpa menoleh sedikitpun.
“Iya, sebentar dong Nessa,” kata mama yang masih berhadapat dengan ibu penjual bumbu jadi itu. “Terimakasih ya, Bu. Maafin anak saya.”
“Iya tidak apa-apa, Bu. Saya juga minta maaf atas kelakuan anak saya,” balasnya.

To Be Continue

Selanjutnya-- 

0 komentar:

Posting Komentar