Aku tidak sadar, sudah berapa lama aku membenamkan
wajahku dalam pelukan laki-laki asing ini. Hujan terus mengguyuri tubuhku.
Badanku serasa menggigil, aku alergi dingin. Aku bisa merasakan bibirku yang
mulai memutih dan tubuhku yang mulai membiru. Namun aku dilindungi oleh
seseorang. Lelaki yang tak kukenal, namun mampu memberikan kenyamanan.
Air mataku masih saja menetes. Entah apa yang
kutangisi, dirimu atau hubungan kita yang sudah terlanjur lama terjalin? Aku
tidak tahu. Yang kurasakan hanyalah sepotong perasaan hampa yang sudah tak
memiliki arti lagi.
“Hei, ujannya makin gede nih. Pindah yuk kesana, kita
berteduh,” ucap lelaki asing itu.
Aku mengangguk. Aku tidak mampu membalas perkataannya.
Yang kurasakan tubuhku sudah tidak dapat bergerak, lemas dan kaku.
“Hei, kamu keliatan pucat. Badan kamu dingin banget,”
ucap lelaki itu ketika menggenggam kedua tanganku. Dia berusaha membangunkanku
dari tempat duduk. Namun tubuhku semakin lemas, aku terjatuh dan dia menahanku.
“Kamu gak apa-apa? Kayaknya kamu sakit,” sambungnya.
Lelaki itu, entah sejak kapan dia menjadi dewa
penolongku. Tubuhku dibopong olehnya. Ia menggendongku ke bale yang lebih cocok
disebut pos, tak jauh dari bangku taman. Aku disandarkan disana. Didekat bale ada
seorang pedagang wedang, ia menghampiri pedagang itu, sepertinya ia ingin
membeli wedang.
Kepalaku berat, seperti ditaruh beban satu kilo beras.
Aku berusaha membuka mata, pandanganku kabur. “Lelaki asing itu,” pikirku.
“Kamu udah sadar? Kamu gak apa-apa kan?” nada lelaki
asing itu begitu khawatir.
Bibir yang kelu, lagi-lagi tak dapat membalasnya. Aku
hanya mengangguk tak karuan. Ia memberikan segelas wedang kepadaku.
Tanpa banyak basa-basi aku menuruti perintahnya.
Lelaki asing itu hanya mampu terdiam kaku, menatapku lekat-lekat. Ia tak
bersuara, begitupun aku. Tubuhku memang lemah sejak kecil. Keadaan ini yang
selalu membuatku menderita. Aku masih belum bisa melihat dengan jelas siapa lelaki
asing itu. Pandanganku semakin kabur.
Hujan sudah mulai mereda. Hari semakin gelap, namun
keadaanku belum pulih sepenuhnya. Ia melirik kearah jam tangannya. Sepertinya
ia semakin khawatir dengan keadaanku. Akhirnya dia bergegas mengambil sepeda
motornya di parkiran., lalu menghampiriku. Membopong tubuhku kearah sepeda
motornya.
Diatas motor aku memeluk tubuh lelaki asing itu dengan
erat. Mencari kehangatan. Jaketnya masih melekat ditubuhku dengan rapat.
Tiba-tiba tangan kiri laki-laki asing itu terlepas dari stang, lalu menggenggam kedua tanganku yang melingkar
dipinggangnya. Aku membenamkan kepalaku pada punggungnya. Rasanya sangat
nyaman, benar-benar nyaman. Aku terlelap.
***
Aku terbangun. Kepalaku rasanya berat sekali. Ketika
aku membuka mata, aku sudah berada tepat diatas tempat tidurku. “Kenapa aku ada
disini?” ucapku pada diri sendiri.
“Tadi kamu pingsan katanya, terus ada seorang lelaki
yang nganter kamu kesini,” kata Mama muncul dari balik pintu kamarku. “Kamu
kenapa sih, Nes? Kok kamu bisa telat pulangnya sampe sakit begitu lagi,”
sambungnya.
“Hmm, aku abis dari taman deket sekolah, Ma. Aku belum
bisa inget kejadian apa yang barusan terjadi.”
“Yaudah kalo gitu, kamu istirahat dulu. Nanti kalo
udah sehatan kamu boleh cerita sama Mama,” ucap Mama sambil mengusap-usap
kepalaku.
“Iya, Ma. Oh iya, tadi kata Mama ada laki-laki yang
nganter aku kesini, siapa?” tanyaku penasaran.
“Nanti kamu juga tau kok,” jawaban Mama menggantung.
“Darimana dia tau kalo rumah aku disini?”
“Tadi dia nelepon Mama. Yaudah sekarang kamu istirahat
sana,” ucap Mama lalu mencium keningku. Kemudian Mama keluar dari kamarku,
membiarkan aku istirahat.
***
(Lelaki Asing P.O.V)
Aku sedang berjalan di taman. Aku melihat seseorang,
sepertinya aku mengenali gadis itu. Perempuan berpostur mungil dengan uraian
rambutnya yang panjang sepinggang. Tapi dia sedang berbicara dengan seorang
laki-laki, mungkin kekasihnya. Aku memperhatikan dari kejauhan.
Namun tak lama kemudian ekspresi wajahnya berubah. Aku
mulai bisa menebak bahwa ada yang tidak beres dengannya. Kulihat laki-laki itu
pergi begitu saja meninggalkan dia. Gadis itu membenamkan wajahnya, menunduk
dalam-dalam. Perasaanku tak enak, aku berusaha untuk menghampirinya.
Aku berjalan dengan gejolak yang tak menentu. Aku
takut dikira lelaki asing yang sok akrab dengannya. Namun tekadku hanya ingin
menemaninya, itu saja. Aku menghampirinya, wajahnya masih menunduk. Kukira dia sedang
menangis. Aku mengambil tempat duduk disebelahnya.
“Ini, pakai ini aja. Biar mata kamu gak lecet,” kataku
padanya dengan hati-hati sambil mengulurkan sapu tangan yang kugenggam.
“Ter.. terimakasih,” ucapnya terbata-bata sambil
meraih sapu tangan dari tanganku.
“Kamu kenapa?” tanyaku padanya. Namun tak ada jawaban
atas pertanyaanku. Ia kembali terdiam, lalu menangis lagi. Aku bingung harus
berbuat apa.
Tak lama dari kebungkamannya, tiba-tiba hujan turun
deras. Ia yang hanya mengenakan selembar seragam sekolah membuatnya kedinginan.
Aku membuka jaket yang kukenakan. Lalu kubalut pada tubuhnya. Ia tak begerak
sedikitpun. Aku berusaha melindunginya, aku memeluknya, lalu membenamkan
tubuhnya dalam pelukanku.
Aku tidak mengerti mengapa gadis ini menangis. Aku tak
berani bersuara. Dia menangis sesenggukan, lama sekali. Hujan semakin deras,
aku bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya pucat, Tubuhnya menggigil
dan mulai membiru. Aku melihat ada pos tak jauh dari sini, aku berusaha untuk
menawarinya berteduh disana.
“Hei, ujannya makin gede nih. Pindah yuk kesana, kita
berteduh,” ucapku.
Dia tak bersuara. Hanya mengangguk lemas.
“Hei, kamu
keliatan pucat. Badan kamu dingin banget,” kataku yang saat itu menggenggam
tangannya. Aku berusaha membangunkannya dari tempat duduk. Namun ia terjatuh
dan aku menahannya. “Kamu gak apa-apa? Kayaknya kamu sakit,” sambungku.
Aku menopang tubuhnya. Membawanya pergi ke pos. ketika
sampai, aku menyandarkan tubuhnya dipunggung pos. Aku melihat ada pedangang
wedang. Berniat untuk membelinya, siapa tahu bisa membuat gadis ini merasa
hangat. Aku meninggalkannya sendiri lalu membeli segelas wedang. Setelah
selesai aku menghampiri gadis itu yang masih terlihat lemah.
“Kamu udah sadar? Kamu gak apa-apa kan?” kataku
khawatir.
Lagi-lagi ia tidak menjawab. Hanya mampu mengangguk
tak jelas. Lalu aku memberikan segelas wedang padanya.
“Diminum dulu, biar badan kamu anget,” ucapku sambil
mengulum senyum.
Ia menuruti perintahku. Lalu menyeruput wedangnya.
Mungkin keadaanya sudah membaik. Aku ingin sekali bertanya, namun aku takut.
Aku hanya mampu terdiam seribu bahasa. Memandanginya lekat-lekat, memastikan
bahwa ia baik-baik saja. Namun sepertinya ia masih tidak baik-baik saja.
Hujan sudah mulai mereda. Aku melemparkan pandangan
pada jam tanganku, aku berniat untuk mengantarkannya pulang ke rumah. Aku
bergegas pergi ke parkiran. Sesampai di parkiran, aku menemukan sebuah handphone. Aku melihat wallpaper di handphone tersebut, kulihat wajah gadis mungil itu. Aku
mengotak-atik kontaknya. Aku menemukan ada kontak ibunya. Aku langsung
mengambil handphone-ku, lalu
menelepon ibunya.
*tuutt* *tuutt*
“Hallo?” jawab seseorang disebrang sana.
“Ha..hallo, bener ini ibunya Nessa?”
“Iya, maaf ini siapa?”
“Ini saya Randu, tante. Nessa lagi sama saya, kayanya
dia sakit. Tante bisa tolong kirim alamat rumah tante? Biar saya antar Nessa kesana.”
“Ya ampun, Nessa gapapa kan? Oke nanti tante sms-in
alamatnya.”
“Gapapa kok tante. Oke makasih ya tante.”
Sambungan terputus. Tak lama kemudian pesan singkat
dari ibu Nessa muncul di handphone-ku.
Aku meluncur menuju pos, tempat dimana Nessa menunggu. Aku turun dari motor,
lalu menopang gadis itu untuk naik ke motor. Selama aku mengendarainya, kedua
tangan gadis itu melingkar dipinggangku. Ada perasaan aneh yang muncul. Aku
melepas tangan kiriku dari setir motor, lalu ku genggam kedua telapak tangannya.
Tiba-tiba ia membenamkan wajahnya dibalik punggungku. “Aku akan selalu
memberikan rasa nyaman ini, Nessa,” ucapku dalam hati.
Sesampai di rumah Nessa. Rumah bertingkat sederhana
dengan aksen yang begitu mewah. Menyilaukan setiap pandangan yang melihat. Aku
menekan bel sambil menggendong Nessa yang terlihat sangat lemas. Wanita paruh
baya membuka pintu.
“Ya ampun, Nessa, kamu kenapa?” wajahnya tampak
khawatir. “Cepet bawa ke kamarnya ya,” ucapnya kemudian.
“Iya, tante.” Aku menggendong Nessa hingga kamarnya.
Kamar yang begitu cantik dan menarik untuk wanita mungil seperti Nessa. Aksen
kamar dengan dinding bercat pink dengan hiasan miniatur hello kitty. Di
belakangku ada ibunya Nessa. Aku membalikkan badan.
“Makasih ya udah mau nganter Nessa pulang,”
“Iya sama-sama, tante.”
“Tunggu deh, kamu bukannya anaknya penjual bumbu di
pasar angkrik kan?”
“Iya, tante. Ternyata tante masih inget,” jawabku
malu.
“Iya dong, kan kamu yang nabrak Nessa waktu itu sampe
jatoh. Oh iya, kamu satu sekolah sama Nessa? Kok kamu bisa nganter Nessa
pulang?”
“Oh enggak tante, kebetulan tadi pulang sekolah aku
mampir ke taman, terus ketemu Nessa yang keliatannya lagi sakit.”
Petang itu aku berbincang panjang lebar dengan ibunya
Nessa. Aku mengetahui banyak tentang gadis mungil itu dari ibunya. “Ternyata
dia suka banget ayam bakar,” pikirku.
Aku pamit pulang. Lalu aku mengembalikan handphone Nessa yang kutemukan di taman
tadi. Meninggalkan Nessa yang terbaring lemah. Aku kembali kerumah menjalani
aktifitasku seperti biasa.
***
“Nessa, makan dulu yuk. Udah jam 8 malem nih,” ucap
Mama membangunkanku.
“Arrghh, iya, Ma.”
Aku bangun, lalu bergegas membuntuti Mama turun ke
bawah, menuju ruang makan. Mama sudah memasak masakan kesukaanku, ayam bakar.
Aku melahap habis makanan. Aku jadi teringat pada kejadian tadi. “Siapa
laki-laki asing itu?” batinku.
“Oh iya, Ma, laki-laki yang nganterin aku itu siapa
sih?” tanyaku penasaran.
“Kamu enggak tau emangnya?” Mama malah balik tanya.
“Enggak, Ma. Aku kan….”
“Tadi itu namanya kak Randu, kak. Orangnya ganteng
banget, itu pasti pacar kakak kan? Hayoo ngaku,” potong Daffa dengan ala
nyeroscosnya.
“Randu?” kataku bingung. “Randu, laki-laki yang nabrak
aku di pasar hari minggu kemaren, Ma?” kini aku bertanya pada Mama.
“Iya, Nes. Dia anaknya baik banget ya mau nganter kamu
sampe ke rumah,” jawab Mama. “Ngomong-ngomong kamu kenapa sih bisa sampe kaya
gitu?” tanyanya lagi.
“Hmm itu…” kata-kataku menggantung. Aku menarik nafas
panjang-panjang. Aku mulai menceritakan kronologi mengapa aku bisa sampai seperti
ini. Kulihat ekspresi Mama yang hanya mengangguk-angguk. Mama memang pendengar
yang baik.
Aku kembali ke kamar. Menyelami pikiranku sendiri.
“Jadi laki-laki itu Randu?” tanyaku dalam hati. “Laki-laki menyebalkan yang
menabrakku minggu kemaren? Oh My God.
Pertanda macam apa ini? Tapi, ternyata dia baik juga, ya walaupun sedikit
menyebalkan.”
Aku mengangkat bahuku. Entah apa yang sedang
kupikirkan, aku berkutat dengan alam pikiranku sendiri. Perasaan itu tiba-tiba
membaik. Entah karena lelaki yang menjadi dewa penolongku atau entah karena
masakan Mama. Aku terlelap sepanjang malam itu.
***
Laki-laki brengsek itu muncul di hadapanku. Bukan,
bukan dihadapanku. Lebih tepatnya di hadapan wanita perebut kekasihku, Vania.
Mereka tampak mesra. Aku berusaha untuk mengalihkan perhatianku pada novel yang
sedang kugenggam erat. Membolak-balik halaman dengan kasar. “Gue harus fokus.
Gak boleh mikirin cowok brengsek itu lagi. Sekarang gue udah kelas 3, gue harus
fokus,” ucapku dalam hati.
Sekolah hari itu benar-benar hampa. Rasanya sangat
berbeda. Kini sudah tidak ada lagi laki-laki yang perhatian kepadaku. Tiba-tiba
aku teringat pada lelaki asing itu, pria pasar yang menolongku kemarin. Aku
tesenyum sendiri.
***
“Nes, anter Mama ke pasar bisa?” kata Mama.
Lagi-lagi hari minggu tenangku diganggu oleh kebiasaan
Mama –mengajakku kepasar. Aku hanya mengangguk. Aku ingin beristirahat lebih
lama, namun apa daya, aku tak kuasa menolak permintaan Mama. Aku menanggalkan
pakaianku, menggantinya dengan rok levis selutut dengan kaos hijau tosca, selalu dengan balutan jaket.
“Nes, kamu mau anter Mama gak? Mama udah siap nih,”
Mama berteriak dari bawah.
“Iya, Ma, ini udah siap kok,” jawabku.
Dimusim penghujan seperti sekarang ini, benar-benar
membekukan badanku. Dingin sekali. Aku tiba di pasar, masih dengan suasana yang
sama. Becek, minim oksigen, berdesakan dan aroma bau yang tak karuan. Aku
selalu benci pasar.
Tapi entah mengapa, ada yang mendorongku untuk masuk
ikut kedalam pasar bersama Mama. Aku juga tidak mengerti. Seperti biasa, Mama
berbelanja keperluan dapur dan tidak lupa untuk mengunjungi pedagang bumbu
jadi. Seperti dugaanku, entah bagaimana rasanya aku ingin sekali ke tempat
penjual bumbu jadi itu, melihat pria pasar itu.
Aku melangkah membuntuti Mama. Beberapa langkah
sebelum kesana aku melihatnya, pria itu. “Randu,” batinku. Pria itu sedang
memarut kelapa pesanan pelanggan. Wajahnya yang memberikan kesan serius
menekuni yang ia kerjakan. Tanpa sadar aku terus memandanginya hingga
benar-benar sampai disana.
“Eh, neng Nessa sama ibu, mau beli bumbu ayam bakar
lagi?” kata perempuan paruh baya. Sepertinya ia adalah ibu Randu, seingatku
seperti itu.
“Iya, bu. Bikinin bumbu ayamnya 3000, biasa cabenya
dibanyakin ya,” jawab Mama. “Oh iya sekalian kelapa parutnya satu ya, nak
Randu,” kata Mama yang kini beralih berbicara pada Randu.
“Oh, iya,” jawabnya sambil melengkungkan garis
bibirnya. Manis sekali.
Tiba-tiba aku tersenyum seorang diri. Aku
memperhatikan Randu yang sedang memarut kelapa. Keringat yang berlumuran di
dahinya, entah mengapa terlihat sangat seksi dimataku. Aku memperhatian setiap
detail yang ada pada laki-laki itu. Lengannya yang kekar, alisnya yang tebal
terlihat sangat obsesi dan tipe pekerja keras.
Aku melamun. Fantasiku dimulai lagi. Membayangkan
hal-hal yang absurd.
“Nes, itu tolong ambilin kelapa parutnya,” perintah
Mama. “Kamu bengong ya?” ucapnya lagi membuyarkan seluruh fantasiku.
“Ah, Eh, iya, Ma,” kataku gugup. Aku malu ketauan
sedang melamun. Lalu aku mendekati Randu untuk mengambil kelapa parut.
“Ini, kelapa parutnya.” Randu mengulum senyum padaku.
jantungku tiba-tiba berdetak tak menentu. Aku membalas senyumnya dengan kaku.
***
Minggu sore itu aku pergi ke taman, tempat dimana aku
merasakan sakit yang luar biasa. Aku bernostalgia dengan luka lama itu.
Laki-laki yang pernah kucintai, entah apa yang waktu ia pikirkan. Rasa nyeri
menyusup lagi kedalam hatiku. Aku menghirup udara disekitar sedalam-dalamnya,
lalu menghelanya dengan panjang. Ada beban yang keluar seiring aku menghela
nafas. Aku memandang sekitar taman, pos dan juga pedagang wedang dekat taman.
Semuanya begitu terasa manis.
Aku mengedarkan pandanganku disekitar. Ada seorang
laki-laki yang mulai menghampiriku. Ia mengenakan training hitam dan kaos oblong warna putih lalu melingkarkan sapu tangan
di lehernya.
“Hei, kamu ngapain di taman?” sapanya.
“Cuma pengen liat-liat aja. Abisnya sumpek di rumah,”
jawabku asal.
“Rumah bagus kaya gitu kok sumpek sih. Aku malah bakal
betah kalo punya rumah kaya kamu,” kata laki-laki itu.
Aku tertawa kecil. Dia tersenyum. Lalu tidak ada yang
berbicara.
“Kamu ngapain di taman?” rasa penasaranku akhirnya
membuatku melontarkan pertanyaaan itu.
“Aku lagi olahraga kecil aja, ya jogging gitu. Udara sore ini seger banget, itu yang ngebuat aku
pengen ke taman,” jawabnya dengan panjang.
“Oh, suka jogging?”
kataku lagi.
Ia mengangguk dengan cepat. Lalu menyeruput air
minumnya yang ia bawa. Daun-daun yang berguguran di taman. Semilir angin
menyusup bagian belakang telingaku. Meniupkan rambutku hingga berantakan.
Sejuk, tenang, damai dan…
“Maaf sebentar,” kata Randu tiba-tiba. Tangannya
mendekati rambutku. Aku tidak tahu mau apa dia, tapi tiba-tiba dia menunjukan
sesuatu padaku. “Ini ada potongan daun yang jatoh dirambut kamu. Nanti yang ada
rambut kamu kotor lagi,” katanya dengan tawanya yang renyah.
Aku tersenyum. Tak mampu berkata-kata. Apapun yang
dilakukan oleh Randu terlihat begitu manis dimataku. Aku jadi salah tingkah,
bingung harus berbuat apa. Aku memutarkan bola mataku ke kanan dan ke kiri.
“Hmm, oh iya, makasih ya waktu itu udah mau nganter
aku kerumah,” ucapku tiba-tiba.
“Iya, sama-sama. Seneng kok bisa ngebantu kamu,”
jawabnya. Kedua kelopak matanya mengisyaratkan penerimaan rasa terimakasihku.
“Sore itu…” aku menghela nafas. Tapi entah mengapa
tiba-tiba nafasku tercekat. Aku tak mampu merangkai kata. Setetes air mataku
terjatuh. Tak kuasa kutahan.
“Gak usah dipaksa kalau emang gak bisa cerita,”
ucapnya. Ia mulai menghapus air mataku yang tadi sempat terjatuh dengan
jemarinya. “Kamu gak perlu cerita apapun,” sambungnya.
Aku berusaha tersenyum. Lagi-lagi senyum yang kaku. Aku
tidak tahu harus bersikap seperti apa kepadanya. Pria pasar ini benar-benar
mampu membuatku merasa nyaman. Sangat nyaman.
“Aku boleh ngomong sesuatu?” tanya Randu tiba-tiba.
“Boleh, apa?” katakupenasaran.
Randu diam. Menit demi menit melesat, tak ada yang
mampu bersuara. Hanya suara angin dan kicauan burung di taman itu yang menyusup
dalam telingaku. Aku menunggunya.
***
0 komentar:
Posting Komentar