Padahal aku memiliki kesempatan
untuk meninggalkanmu. Aku memiliki kesempatan untuk pergi dari apapun
tentangmu. Dan aku sangat memiliki kesempatan untuk kehilangan kamu. Bukankah itu
yang aku inginkan? Bukankah ini yang aku mau? Mengapa rasanya sangat berat dan
hampa.
Kita memang tidak memiliki
hubungan yang serius. Kita pun tak memiliki tingkat komunikasi yang intens. Tapi
aku masih saja berharap kau akan melirikku walau itu hanya ilusi semata. Fatamorgaku
selalu meliar setiap kali berhubungan denganmu.
Lihatlah aku kini, sungguh
menghenaskan. Berharap kau menjadi bagian terindah dalam hidupku walau pada
kenyataannya sangat menyiksaku. Akhir-akhir ini aku selalu memimpikanmu. Membiarkan
kamu menjadi pemeran utama dalam mimpiku. Tapi kau yang berada dalam mimpiku
hanyalah sebuah imajiner. Kini kau tidak lagi nyata didepanku.
Dulu aku memang pernah
menyakitimu. Aku mengakuinya bukan karena aku menyesal, tapi karena itu memang
tugasku untuk meminta maaf padamu. Bukankah kita sudah saling sepakat melupakan
kisah lama lalu memulainya dengan warna yang baru? Tapi mengapa aku merasa kita
masih saja terjebak dalam bayangan warna lama.
Sejak lama dari kita memulainya
kembali aku memiliki firasat. Firasat yang bisa kusebut sebagai prasangka
buruk. Aku merasa, bahwa apa yang kita mulai hari itu hanyalah awal dari rasa
sakit yang akan kurasakan nanti. Namun sayangnya, perasaan butaku terhadapmu
mengalahkan firasatku. Aku terlalu percaya padamu. Hingga hari ini aku
menyadari, bahwa apa yang pernah menjadi firasatku menjadi kenyataan. Kau mengabaikanku,
kau mempermainkanku. Terlebih lagi kini kau meninggalkanku seorang diri tanpa
pernah kau memberi kepastian selama hampir 7 bulan kedekatan kita ini.
Bukankah kau senang? Mungkin ini
akan menjadi hari pembalasan dari apa yang pernah kuperbuat untukmu dulu. Atau memang
hanya aku yang berpikir seperti itu? Aku terlalu naïf hingga selalu membela
namamu walau harus bersitegang dengan isi hati kecilku.
Kini aku tidak lagi tahu mana
yang benar dan mana yang salah. Segalanya terlihat rumit. Kita seperti sebuah
rel dalam kereta, selalu berdampingan namun tak bisa saling mendekat bahkan
menggenggam.
Ketika nanti kita akan bertemu
lagi dengan waktu yang tak pernah kita duga. Aku hanya berharap kau jangan
pernah mengenaliku. Berpura-puralah tidak mengenalku seperti saat ini. Biarkan aku
memiliki kesempatan itu—kesempatan untuk meninggalkanmu.
0 komentar:
Posting Komentar