Sebelumnya--
Aku tidak sadar, sudah berapa lama aku membenamkan
wajahku dalam pelukan laki-laki asing ini. Hujan terus mengguyuri tubuhku.
Badanku serasa menggigil, aku alergi dingin. Aku bisa merasakan bibirku yang
mulai memutih dan tubuhku yang mulai membiru. Namun aku dilindungi oleh
seseorang. Lelaki yang tak kukenal, namun mampu memberikan kenyamanan.
Air mataku masih saja menetes. Entah apa yang
kutangisi, dirimu atau hubungan kita yang sudah terlanjur lama terjalin? Aku
tidak tahu. Yang kurasakan hanyalah sepotong perasaan hampa yang sudah tak
memiliki arti lagi.
“Hei, ujannya makin gede nih. Pindah yuk kesana, kita
berteduh,” ucap lelaki asing itu.
Aku mengangguk. Aku tidak mampu membalas perkataannya.
Yang kurasakan tubuhku sudah tidak dapat bergerak, lemas dan kaku.
“Hei, kamu keliatan pucat. Badan kamu dingin banget,”
ucap lelaki itu ketika menggenggam kedua tanganku. Dia berusaha membangunkanku
dari tempat duduk. Namun tubuhku semakin lemas, aku terjatuh dan dia menahanku.
“Kamu gak apa-apa? Kayaknya kamu sakit,” sambungnya.
Lelaki itu, entah sejak kapan dia menjadi dewa
penolongku. Tubuhku dibopong olehnya. Ia menggendongku ke bale yang lebih cocok
disebut pos, tak jauh dari bangku taman. Aku disandarkan disana. Didekat bale ada
seorang pedagang wedang, ia menghampiri pedagang itu, sepertinya ia ingin
membeli wedang.
Kepalaku berat, seperti ditaruh beban satu kilo beras.
Aku berusaha membuka mata, pandanganku kabur. “Lelaki asing itu,” pikirku.
“Kamu udah sadar? Kamu gak apa-apa kan?” nada lelaki
asing itu begitu khawatir.
Bibir yang kelu, lagi-lagi tak dapat membalasnya. Aku
hanya mengangguk tak karuan. Ia memberikan segelas wedang kepadaku.
“Diminum dulu, biar badan kamu anget,” ucapnya sambil
tersenyum.